4.24.2013

Posted by Unknown
No comments | 3:10:00 PM
1.      Sejarah Perkembangan Teori Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar dan tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang tampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut kaum behavioris seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Behaviorisme amat banyak menentukan perkembangan psikologi terutama dalam eksperimen – eksperimen. Buku – buku psikologi sering kali hanya mencerminkan pendekatan ini. Walaupun Watson sering dianggap tokoh utama aliran ini, namun kita dapat melacak perkembangan behaviorisme sampai kepada empirisme dan hedonisme pada abad XVII-XVIII, bahkan sampai kepada Aristoteles.
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, bagaikan sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1932-1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kedua-duanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku manusia masa lalu.
Salah satu kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme, salah satu paham filsafat etika, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Dalam utilitarianisme, seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. “Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure,” ujar Jeremy Bentham (1879:1). Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonisme, kita menemukan apa yang disebut sebagai behaviorisme (Goldstein, 1980: 17).

2.      Asumsi Teori Behaviorisme
Sejak Thorndike dan Watson sampai sekarang, kaum Behavioris berpendirian bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat – sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengamalan; dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Asumsi ini ditambah lagi dengan sumbangan bilogi abad XIX: manusia hanyalah kelanjutan dari organisme yang lebih rendah. Kita, karena itu dapat memahami manusia dengan meneliti perilaku organisme yang bukan manusia. Misalnya, kita dapat merumuskan teori belajar dengan mengamati bagaimana tikus belajar (tidak sedikit orang yang benci menyebut behaviorisme sebagai psikologi tikus – rat psychology!). Sebuah universitas malah mulai menatar para dosen dengan behaviorisme, dan menyuruh dosen memandang mahasiswa sebagai tikus, kambing, merpati, atau paling tinggi … simpanse.
Teori ini berasumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apapun dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Watson pernah mengatakan :
Give me a dosen healthy infants, well-formed, and my own specified world to bring them up in and I’ll guarantee ti take any one at random and train him to become any type of specialist I might select-doctor, lawyer, artist merchant-chief and, yes, evem beggar-man and thief. Regardless of his talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his ancestors. (J.B. Watson, 1934:104).
(Berikan padaku selusin anak-anak sehat, tegap, dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka. Aku jamin, aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja, dan mendidiknya untuk menjadi spesialis yang aku pilih – dokter, pengacara, seniman, saudara, dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memerhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan, ras orangtuanya ).
Ucapan ini dibuktikan Watson dengan satu eksperimen bersama Rosalie Rayner di John Hopkins; tujuannya menimbulkan dan menghilangkan rasa takut. Subjek eksperimennya adalah Albert B., bayi sehat berusia 11 bulan yang tinggal dirumah perawatan anak-anak, karena ibunya menjadi perawat disitu. Albert menyayangi tikus putih. Sekarang tikus itu dibuat menjadi hal yang menakutkan bagi Albert. Ketika Albert menyentuh tikus itu, lempengan baja dipukul keras tepat dibelakang kepalanya. Albert tersentak, tersungkur menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Proses ini diulangi: kali ini Albert tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika tikus diberikan kepadanya Albert ragu-tagu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras. Akhirnya, kalau tikus itu muncul – walaupun tidak ada suara keras – Albert mulai menangis, membalik, dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja takut kepada tikus, juga kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang malang sudah menjadi patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, bila mungkin tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah perawatan, dan nasib Albert tidak diketahui (Hunt, 1982:62).
Eksperimen Albert bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimulus yang netral atau stimulus terkondisi (tikus putih) dengan stimulus tertentu yang tak terkondisikan – (Unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned response). Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimulus yang netral melahirkan response terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus dilakukan pemukulan batangan baja (unconditioned response).
Pelaziman klasik akan menjelaskan bahwa bila setiap kali anak membaca, orangtuanya mengambil buku dengan paksa, anak akan benci pada buku. Bila munculnya anda selalu berbarengan dengan datangnya malapetaka, kehadiran anda kemudian akan mendebarkan orang.
Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Kali ini subjeknya burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak (yang dapat diamati). Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya menyentuh tombol kecil pada dinding kotak.makanan keluar dan merpati bahagia. Mula-mula merpati itu tidak tahu hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan datangnya makanan. Sejenak kemudian, merpati tidak sengaja menyentuh tombol, dan makanan turun lagi. Sekarang, bila merpati ingin makan ia mendekati dinding dan menyentuh tombol. Sikap manusia seperti itu pula. Bila setiap anak menyebut kata yang sopan, segera kita memujinya anak itu kelak akan mencintai kata-kata sopan dalam komunikasinya. Bila pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus, mahasiswa meningkatkan prestasinya. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Pujian dan buku dalam contoh tadi disebut peneguh (reinforcer).
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Banyak perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme pelaziman atau peneguhan. Misalnya, mengapa anak yang berusia dua tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kaum behavioris tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan lambang atau objek yang punya makna (pelaziman klasik). Menurut Skinner, mula-mula anak mengucapkan bunyi-bunyi yang tak bermakna. Kemudian orang tua secara efektif meneguhkan ucapan yang bermakna (misalnya, “mamah”). Dengan cara ini berangsur-angsur terbentuk bahasa anak yang memungkinkannya bicara. Menurut Bandura, dengan cara seperti ini penguasaan bahasa akan terbentuk bertahun-tahun, dan cara ini tidak dapat menjelaskan mengapa anak-anak dapat mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons orang lain, misalnya meniru bunyi yang sering didengar adalah penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor yang penting dalam belajar, tetapi faktor yang penting dalam melakukan suatu tindakan (performance). Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Namun jika ia dihukum (dicela), ia akan menahan diri untuk bicara walaupun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan suatu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan.
Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme dapat menjelaskan seluruhnya. Behaviorisme bungkam ketika melihat perilaku manusia yang tidak dipengaruhi oleh ganjaran, hukuman, atau peniruan. Orang-orang yang menjelajahi kutub utara yang dingin, pemuda jepang yang menempuh samudra pasifik diatas rakit, anak-anak muda ‘syi’ah’ yang menabrakkan truk berisi muatan dinamit, semuanya mengungkapkan perilaku yang “self-motivated”. Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi “mentalistik” dari Wilhelm Wundt. Seratus tahun setelah Wundt membuka laboratorium psikologi eksperimental yang pertama, paradigma baru menyerang psikologi “behavioristik”, dan menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif.

3. Ciri dan Tokoh Teori Behaviorisme 
Ciri teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
              Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon karena teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Ada beberapa tokoh dalam teori Behaviorisme. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

a.       Teori Belajar Menurut Thorndike
            Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
            Hukum Kesiapan “Law of Reatness”, seseorang akan melakukan sesuatu dan ia lakukan sehingga ia merasa puas, artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Hukum Latihan “Law of Exercise”, seseorang akan belajar melakukan latihan terlebih dahulu, artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan  semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. Hukum Akibat “Law of Effect”, hubungan stimulus dan respon akan terjadi (adanya ransangan), artinya bahwa jika sebuah respons  menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula  hubungan  yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Pendapat Thorndike tentang Prinsip – Prinsip Belajar :
1. Pada saat seseorang berhadapan dengan sebuah situasi yang termasuk baru, berbagai ragam respon yang ia lakukan. Respon – respon tersebut dapat berbeda antara satu dengan lainnya hingga akhirnya seseorang mendapatkan respon yang benar.
2. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur – unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat.
3. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama
4. Orang cenderung mengadakan assosiatif shift thing yaitu menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tentang tatkala menyadari respon yang penting.

b.      Teori Belajar Menurut Watson
            Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.           Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
c.       Teori Belajar Menurut Clark Hull
            Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

4. Analisis Tentang Teori Behaviorisme
              Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku. Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
            Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi orang, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua orang yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Asumsi pokoknya bahwa semua hasil belajar yang berupa perubahan tingkah laku yang bisa diamati, juga dianggap terlalu menyederhanakan masalah belajar yang sesungguhnya. Tidak semua hasil belajar bisa diamati dan diukur, paling tidak dalam tempo seketika. Teori ini tidak mampu menjelaskan proses belajar yang kompleks
              Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan orang untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
              Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
              Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
              Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.





Daftar Pustaka

Rakhmat Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Hariyanto. Teori Behaviorisme.  http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme. Diakses pada 20 Maret 2013.

0 komentar:

Posting Komentar