1.
Sejarah
Perkembangan Teori Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap
introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan
subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar dan
tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang tampak saja,
yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris
lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut kaum behavioris seluruh
perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan
perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau
mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh
faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Behaviorisme amat banyak menentukan perkembangan
psikologi terutama dalam eksperimen – eksperimen. Buku – buku psikologi sering
kali hanya mencerminkan pendekatan ini. Walaupun Watson sering dianggap tokoh
utama aliran ini, namun kita dapat melacak perkembangan behaviorisme sampai
kepada empirisme dan hedonisme pada abad XVII-XVIII, bahkan sampai kepada
Aristoteles.
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa
manusia tidak memiliki apa-apa, bagaikan sebuah meja lilin (tabula rasa) yang
siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1932-1704), tokoh
empirisme Inggris, meminjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir
manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman.
Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide
yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kedua-duanya adalah produk pengalaman.
Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen
ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory
experience). Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan
oleh perilaku manusia masa lalu.
Salah satu kesulitan empirisme dalam menjelaskan
gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia
berperilaku tertentu. Hedonisme, salah satu paham filsafat etika, memandang
manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya,
mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Dalam utilitarianisme, seluruh
perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. “Nature has placed mankind under the
governance of two sovereign masters, pain and pleasure,” ujar Jeremy
Bentham (1879:1). Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonisme,
kita menemukan apa yang disebut sebagai behaviorisme (Goldstein, 1980: 17).
2.
Asumsi
Teori Behaviorisme
Sejak Thorndike dan Watson sampai sekarang, kaum
Behavioris berpendirian bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat – sifat sosial
atau psikologis; perilaku adalah hasil pengamalan; dan perilaku digerakkan atau
dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi
penderitaan. Asumsi ini ditambah lagi dengan sumbangan bilogi abad XIX: manusia
hanyalah kelanjutan dari organisme yang lebih rendah. Kita, karena itu dapat
memahami manusia dengan meneliti perilaku organisme yang bukan manusia.
Misalnya, kita dapat merumuskan teori belajar dengan mengamati bagaimana tikus
belajar (tidak sedikit orang yang benci menyebut behaviorisme sebagai psikologi
tikus – rat psychology!). Sebuah
universitas malah mulai menatar para dosen dengan behaviorisme, dan menyuruh
dosen memandang mahasiswa sebagai tikus, kambing, merpati, atau paling tinggi …
simpanse.
Teori ini berasumsi bahwa pengalaman adalah paling
berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia
mudah dibentuk menjadi apapun dengan menciptakan lingkungan yang relevan.
Watson pernah mengatakan :
Give me a dosen
healthy infants, well-formed, and my own specified world to bring them up in
and I’ll guarantee ti take any one at random and train him to become any type
of specialist I might select-doctor, lawyer, artist merchant-chief and, yes,
evem beggar-man and thief. Regardless of his talents, penchants, tendencies,
abilities, vocations, and race of his ancestors. (J.B. Watson, 1934:104).
(Berikan padaku selusin anak-anak sehat, tegap, dan
berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka. Aku jamin, aku
sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja, dan mendidiknya untuk menjadi
spesialis yang aku pilih – dokter, pengacara, seniman, saudara, dan bahkan
pengemis dan pencuri, tanpa memerhatikan bakat, kecenderungan, tendensi,
kemampuan, pekerjaan, ras orangtuanya ).
Ucapan ini dibuktikan Watson dengan satu eksperimen
bersama Rosalie Rayner di John Hopkins; tujuannya menimbulkan dan menghilangkan
rasa takut. Subjek eksperimennya adalah Albert B., bayi sehat berusia 11 bulan
yang tinggal dirumah perawatan anak-anak, karena ibunya menjadi perawat disitu.
Albert menyayangi tikus putih. Sekarang tikus itu dibuat menjadi hal yang
menakutkan bagi Albert. Ketika Albert menyentuh tikus itu, lempengan baja
dipukul keras tepat dibelakang kepalanya. Albert tersentak, tersungkur
menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Proses ini diulangi: kali ini Albert
tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika
tikus diberikan kepadanya Albert ragu-tagu dan menarik tangannya ketika hidung
tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara
keras pukulan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras.
Akhirnya, kalau tikus itu muncul – walaupun tidak ada suara keras – Albert
mulai menangis, membalik, dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja
takut kepada tikus, juga kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang
mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang malang sudah menjadi
patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, bila mungkin
tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah perawatan, dan nasib Albert tidak
diketahui (Hunt, 1982:62).
Eksperimen Albert bukan saja membuktikan betapa
mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode
pelaziman klasik (classical conditioning).
Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik
adalah memasangkan stimulus yang netral atau stimulus terkondisi (tikus putih)
dengan stimulus tertentu yang tak terkondisikan – (Unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned response). Setelah
pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimulus yang netral melahirkan response
terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan
rasa takut setelah setiap kehadiran tikus dilakukan pemukulan batangan baja (unconditioned response).
Pelaziman klasik akan menjelaskan bahwa bila setiap
kali anak membaca, orangtuanya mengambil buku dengan paksa, anak akan benci
pada buku. Bila munculnya anda selalu berbarengan dengan datangnya malapetaka,
kehadiran anda kemudian akan mendebarkan orang.
Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia
menyebutnya operant conditioning.
Kali ini subjeknya burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak (yang
dapat diamati). Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya
menyentuh tombol kecil pada dinding kotak.makanan keluar dan merpati bahagia.
Mula-mula merpati itu tidak tahu hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan
datangnya makanan. Sejenak kemudian, merpati tidak sengaja menyentuh tombol,
dan makanan turun lagi. Sekarang, bila merpati ingin makan ia mendekati dinding
dan menyentuh tombol. Sikap manusia seperti itu pula. Bila setiap anak menyebut
kata yang sopan, segera kita memujinya anak itu kelak akan mencintai kata-kata
sopan dalam komunikasinya. Bila pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik
kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus, mahasiswa meningkatkan
prestasinya. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya
pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Pujian dan buku dalam contoh tadi disebut peneguh (reinforcer).
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan
dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan
peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Banyak perilaku manusia yang
tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme pelaziman atau peneguhan. Misalnya,
mengapa anak yang berusia dua tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kaum
behavioris tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya,
dipasangkan dengan lambang atau objek yang punya makna (pelaziman klasik).
Menurut Skinner, mula-mula anak mengucapkan bunyi-bunyi yang tak bermakna.
Kemudian orang tua secara efektif meneguhkan ucapan yang bermakna (misalnya,
“mamah”). Dengan cara ini berangsur-angsur terbentuk bahasa anak yang
memungkinkannya bicara. Menurut Bandura, dengan cara seperti ini penguasaan
bahasa akan terbentuk bertahun-tahun, dan cara ini tidak dapat menjelaskan
mengapa anak-anak dapat mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka
dengar sebelumnya. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons
orang lain, misalnya meniru bunyi yang sering didengar adalah penyebab utama
belajar. Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor yang penting dalam belajar,
tetapi faktor yang penting dalam melakukan suatu tindakan (performance). Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena
mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Namun jika ia dihukum
(dicela), ia akan menahan diri untuk bicara walaupun ia memiliki kemampuan
untuk melakukannya. Melakukan suatu perilaku ditentukan oleh peneguhan,
sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan.
Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme
dapat menjelaskan seluruhnya. Behaviorisme bungkam ketika melihat perilaku
manusia yang tidak dipengaruhi oleh ganjaran, hukuman, atau peniruan.
Orang-orang yang menjelajahi kutub utara yang dingin, pemuda jepang yang
menempuh samudra pasifik diatas rakit, anak-anak muda ‘syi’ah’ yang menabrakkan
truk berisi muatan dinamit, semuanya mengungkapkan perilaku yang “self-motivated”. Behaviorisme memang
agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang
kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan
pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada
psikologi “mentalistik” dari Wilhelm Wundt. Seratus tahun setelah Wundt membuka
laboratorium psikologi eksperimental yang pertama, paradigma baru menyerang
psikologi “behavioristik”, dan menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan
internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif.
3. Ciri dan Tokoh Teori Behaviorisme
Ciri teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan
bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan
pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme
hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh
adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati
adalah stimulus dan respon karena teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap
penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori
belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement
and Punishment; (2) Primary and
Secondary Reinforcement; (3) Schedules
of Reinforcement; (4) Contingency
Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination
of Responses (Gage, Berliner, 1984). Ada beberapa tokoh dalam teori Behaviorisme.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson,
Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya
para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam
pembelajaran.
a. Teori Belajar Menurut
Thorndike
Menurut Thorndike, belajar
adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi
yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan
teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut
Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell,
Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat
memperkuat respon.
Hukum Kesiapan “Law of Reatness”, seseorang akan melakukan
sesuatu dan ia lakukan sehingga ia merasa puas, artinya
bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan
yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Hukum
Latihan “Law of Exercise”, seseorang
akan belajar melakukan latihan terlebih dahulu, artinya bahwa hubungan antara
Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan
akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. Hukum Akibat “Law of Effect”, hubungan stimulus dan
respon akan terjadi (adanya ransangan), artinya bahwa jika sebuah respons
menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin
kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka
semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Pendapat Thorndike tentang Prinsip – Prinsip Belajar :
1. Pada saat
seseorang berhadapan dengan sebuah situasi yang termasuk baru, berbagai ragam
respon yang ia lakukan. Respon – respon tersebut dapat berbeda antara satu
dengan lainnya hingga akhirnya seseorang mendapatkan respon yang benar.
2. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi
untuk mengadakan seleksi terhadap unsur – unsur yang penting dan kurang
penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat.
3. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap
situasi yang sama
4. Orang cenderung mengadakan assosiatif shift thing yaitu menghubungkan respon
yang ia kuasai dengan situasi tentang tatkala menyadari respon yang penting.
b. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan
belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
c. Teori Belajar Menurut Clark
Hull
Clark Hull juga menggunakan
variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian
belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi
Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive)
dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam
teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
4. Analisis Tentang Teori Behaviorisme
4. Analisis Tentang Teori Behaviorisme
Kaum behavioris menjelaskan
bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku. Pandangan teori behavioristik telah cukup lama
dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang
dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi orang, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini
tidak dapat menjelaskan mengapa dua orang yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama,
ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui
adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan
adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang
diamati tersebut. Asumsi pokoknya bahwa semua hasil belajar yang berupa
perubahan tingkah laku yang bisa diamati, juga dianggap terlalu menyederhanakan
masalah belajar yang sesungguhnya. Tidak semua hasil belajar bisa diamati dan
diukur, paling tidak dalam tempo seketika. Teori ini tidak mampu menjelaskan
proses belajar yang kompleks
Teori behavioristik juga
cenderung mengarahkan orang untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar,
proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain
pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman
dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif
(negative reinforcement) cenderung
membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman
memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa
Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: pengaruh
hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
Dampak psikologis yang buruk
mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman
berlangsung lama; Hukuman yang mendorong si
terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas
dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan
hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada
apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan
hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang
sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan,
maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar
(sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan
pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah
yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan
positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.
Daftar
Pustaka
Rakhmat
Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi.
PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Hariyanto.
Teori Behaviorisme. http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme.
Diakses pada 20 Maret 2013.
0 komentar:
Posting Komentar