4.26.2014

Posted by Unknown
No comments | 1:02:00 PM
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Di era kemajuan ilmu pengetahuan ini, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, obyek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada gilirannya, cabang ilmu semakin subur dengan segala variasinya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu yang terspesialisasi itu semakin menambah sekat – sekat dengan disiplin ilmu yang lain, sehingga muncul arogansi ilmu yang satu terhadap ilmu yang lain. Tidak hanya sekedar sekat – sekat antardisiplin dan arogansi ilmu, tetapi yang dikhawatirkan terjadi adalah terpisahnya ilmu dengan nilai luhur ilmu yaitu untuk menyejahterakan umat manusia (Bakhtiar,  2006).
Dengan demikian dikatakan bahwa di satu sisi ilmu berkembang dengan pesat. Ilmu dapat membantu manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu karena tidak ada seorang atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif ilmu.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang dengan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yaitu membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetakan. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada dasarnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu? Apakah aspek moral perlu menjadi pertimbangan dalam penerapan ilmu? Pertanyaan – pertanyaan seperti itu lah yang mendasari penulis untuk menyusun makalah ini dengan judul “Dimensi Aksiologi: Antara Ilmu dan Moral”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana hubungan antara penerapan ilmu pengetahuan dengan aspek moral?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penerapan ilmu pengetahuan dengan aspek moral.



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Dasar Filsafat Ilmu
2.1.1. Pengertian Filsafat Ilmu
Pengertian – pengertian tentang filsafat ilmu telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan integratif yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan. Pengetahuan lama menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru.
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu (dalam Lokisno, 2012) diantaranya:
a.       Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
b.      Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole”. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
Dari paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat ilmu itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.       sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
b.      sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah
c.       sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
d.      sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan  ilmiah

2.1.2. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
a.       Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
b.      Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
c.       Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). 

2.2. Aksiologi Ilmu
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Berbicara tentang ilmu, bukan hanya berbicara tentang aspek ontologi (apa yang dikaji) dan aspek epistemologi (bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan yang benar) tetapi juga yang tidak kalah penting yaitu aspek aksiologi (nilai guna ilmu). Aksiologi adalah nama lain dari filsafat nilai dan termasuk cabang dari etika. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa ahli diantaranya:
1.      Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai (Burhanuddin, 1997).
2.      Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumatri, 2009).
3.      Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosio-politik (Jalaluddin, 1997).
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation yaitu:
1.      Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
2.      Nilai sebuah kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
3.      Nilai juga dikatakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi (Edward, 1967 dalam Bakhtiar, 2006: 165).
Dari definisi-definisi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan estetika.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya  tetap merupakan perasaan.

2.3. Ilmu dan Moral
2.3.1. Hubungan Antara Ilmu dan Moral
Kaitan ilmu dan moral telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, Wilardjo, Slamet Iman Santoso, dan Jujun Suriasumantri (Suriasumantri, 1996). Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah: apakah itu bebas dari sistem nilai? Atakah sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai? Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral (Suriasumantri, 2010).
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati – hati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. (1996) mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
b.      Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
c.       Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
d.      Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
e.       Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.



2.3.2. Problematika Etika Ilmu Pengetahuan
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalah hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu harrus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab kepada kepentingan umum dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya ilmu adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan malah menghancurkannya.
Tanggung jawab ilmu menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal – hal yang akan dan telah diakibatkan oleh ilmu di masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasarkan keputusan – keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah suatu aturan, baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab agar selalu menjaga apa yang diwijudkan dalam perubahan tersebut menjadi perubahan terbaik bagi perkembangan ilmu itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh (Zubair, 2002).
Sesuai pendapat Van Melsen (dalam Surajiyo, 2007) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan teknologi di era ini memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan mana yang layak dan mana yang tidak layak serta yang buruk dan yang baik.

2.3.3. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Bebas nilai yang dimaksud disini menurut Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiaatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu – ilmu sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan – kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai – nilai itu harus diimplementasikan ke dalam bagian – bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Lain halnya dengan Weber, Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misbak Munir (2001) berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau obyek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau obyek itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengalaman sehari – hari, dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati. Setiap ilmu mengambil dari Lebenswelt itu sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.

2.3.4. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Ilmu bukanlah pengetahuan yang datang begitu saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang suatu obyek yang khas dengan pendekatan yang khas pula, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena itu, ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun, juga menjadi masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu yang kokoh dan kuat, yakni masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab ilmuwan, masalah moral dan akhlak amat diperlukan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki ilmuwan menurut Abbas Hamami M. (1996) sedikitnya ada enam yaitu:
a.       Tidak ada rasa pamrih (disinterestedness) artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan sendiri.
b.      Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
c.       Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat – alat indera serta budi.
d.      Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
e.       Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk riset dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
f.       Seorang ilmiwan harus memiliki sikap etis yang berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.



BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan urain yang telah diungkapkan di atas dapat disimpilkan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Berbicara tentang ilmu, bukan hanya berbicara tentang aspek ontologi (apa yang dikaji) dan aspek epistemologi (bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan yang benar) tetapi juga yang tidak kalah penting yaitu aspek aksiologi (nilai guna ilmu). Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula.
Dalam kaitannya dengan moral, penerapan ilmu tidak bisa dipisahkan dengan aspek moral. Hal itu dikarenakan pada dasarnya ilmu dikembangkan oleh manusia dan diperuntukan untuk kemaslahatan umat manusia. Penggunaan ilmu secara bijak menjadi suatu keharusan bagi umat manusia agar tidak mendatangkan malapetaka yang akan mengancam kelangsungan hidupnya dan generasi selanjutnya. Perkembangan ilmu pengetahuan akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan teknologi di era ini memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan mana yang layak dan mana yang tidak layak serta yang buruk dan yang baik.
  


Daftar Pustaka

Bakhtiar, Amsal. 2006. Filsafat Ilmu. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Charris Zubair, Achmad, 1987. Kuliah Etika. Rajawali Pers: Jakarta.
Hamami M., Abbas. 1977. Filsafat: Suatu Pengantar Logika Formal – Filsafat Pengetahuan. Yayasan Pembina Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Gaya Media Pratama: Jakarta.
Lokisno. 2012. Pengantar Filsafat. Bahan Presentasi kuliah filsafat ilmu di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel: Surabaya.
Mustansyir, Rizal dan Misbak Munir. 2001. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Reneka cipta: Jakarta.
Situmorang, Josep. Th. XXII No. 4. Ilmu Pengetahuan dan Nilai – Nilai. Majalah Filsafat Driyarkara: Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S.. 1996. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Gramedia: Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XXII. Sinar Harapan: Jakarta.
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. PT Bumi Aksara: Jakarta.