8.30.2013

Posted by Unknown
No comments | 2:57:00 PM




A.    Biografi Presiden Soeharto

            Soeharto adalah salah seorang anak desa yang bernasib baik. Berawal dari seorang anak desa yang miskin, Soeharto mulai merintis kariernya. Dengan semangat juang ingin merubah nasib hidupnya, ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Menerima uluran tangan orang untuk terus bisa merubah hidupnya. Akhirnya, di tengah keputusasaannya ia mendapat sebuah kesempatan yang tak terduga. Berawal dari kesempatan itu, muncullah kesempatan – kesempatan lainnya yang membawanya menuju puncak kekuasaan di Indonesia. Selama 32 tahun ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia dan berperan banyak dalam sejarah Indonesia.
            Haji Muhammad Soeharto, atau lebih akrab dipanggil Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, pada tanggal 8 Juni 1921. Ia adalah anak dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Ketika Kertosudiro menikah dengan Sukirah, ia adalah seorang duda yang memiliki dua anak dari istri pertamanya. Kertosudiro adalah seorang ulu – ulu (petugas desa pengatur air). Hubungan pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Setelah Soeharto dilahirkan, keduanya bercerai. Beberapa tahun kemudian, Sukiran menikah dengan Atmopawiro dan mempunyai 7 anak. Sedangkan Kertosudiro juga menikah lagi dan mempunyai 4 anak dari hasil pernikahannya ini. Keluarga Soeharto adalah keluarga petani yang miskin. Setelah dilahirkan, Sukirah sakit dan tidak mampu menyusui Soeharto. Kemudian Soeharto pun dititipkan di rumah kakek dan neneknya. Pada umur empat tahun, ia kembali diambil oleh ibu dan ayah tirinya.
            Masa sekolah dasar dilaluinya di beberapa sekolah. Pada awalnya, Soeharto sekolah di Sekolah Dasar Puluhan, di daerah Godean. Namun karena ibu dan ayah tirinya pindah ke daerah Kemusuk Kidul, ia pun pindah ke sekolah di Pedes. Namun kemudian oleh ayahnya, Kertosudiro, dititipkan pada adik perempuan satu – satunya di daerah Wuryantoro, Wonogiri. Di sana Soeharto mendapat pendidikan yang lebih baik. Di sekolah, Soeharto termasuk anak yang cerdas, terutama dalam bidang matematika.
            Namun baru satu tahun Soeharto tinggal bersama bibinya, ia dijemput oleh ayah tirinya. Soeharto dibawa pulang karena ibunya sakit dan merindukannya. Ayah tirinya berjanji akan mengembalikannya setelah sekolah dimulai kembali. Namun ternyata janji tersebut tidak dipenuhi. Akhirnya Soeharto pindah sekolah ke sekolah desa di Tiwir. Setahun kemudian, Soeharto kembali dijemput oleh paman dan bibinya, dan kembali sekolah di daerah Wuryantoro. Selain mendapatkan pendidikan sekolah dasar, Soeharto juga mendapatkan pendidikan agama di Langgar (tempat mengaji).
            Setelah empat tahun menjalani pendidikan di sekolah dasar, Soeharto kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan rendah (schakel school) di Wonogiri. Pada awalnya Soeharto tinggal bersama anak paman dan bibinya. Namun karena keluarga yang ditumpanginya tersebut mengalami masalah keluarga, Soeharto harus pindah dan tinggal bersama keluarga teman ayahnya yang bernama Hardjowijono. Keluarga Hardjowijono tidak memiliki anak. Di sana Soeharto membantu keluarga tersebut seperti membersihkan rumah sebelum pergi ke sekolah, belanja ke pasar dan menjual hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo.
            Soeharto menyelesaikan pendidikannya di sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia berhasil menamatkan sekolahnya pada tahun 1939. Walaupun ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, namun keluarga Soeharto tidak mampu membiayai sekolahnya lagi. Alhasil, Soeharto harus mencari pekerjaan daripada menjadi pengangguran. Akhirnya Soeharto mendapat pekerjaan sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-bank). Namun pekerjaannya sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa tidak bertahan lama. Soeharto berencana melamar pekerjaan di Solo tetapi di sana pun ia tidak mendapatkan pekerjaan.
            Di tengah – tengah keputusasaannya itu, tiba – tiba datang kesempatan untuk melamar masuk KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger – Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Soeharto mendapat panggilan atas lamarannya dan ia pun diterima setelah lulus menjalani ujian. Soeharto masuk ke ikatan dinas pendek (Kort-verband). Ikatan dinas ini masa latihannya diadakan di daerah Gombong selama tiga tahun. Yang masuk dinas ini umumnya lulusan HIS (Holands Inlandse School atau SD di zaman Belanda) ke atas. Mereka yang mendapat latihan di Gombong bisa mendapat kesempatan untuk terus mengikuti Kader School dan menjadi kopral yang kemudian bisa praktik di batalyon. Setelah menjadi kopral selama 5 tahun, barulah bisa mengikuti ujian untuk menjadi sersan.
            Dalam ikatan dinas pendek itu, Soeharto berhasil menjadi lulusan terbaik. Ia kemudian praktik di Batalyon XIII di Tempel dekat Malang, dan menjabat sebagai wakil komandan regu. Karena Perang Dunia ke-2 sedang terjadi, Soeharto segera dikirim ke Bandung begitu ia mendapatkan pangkat sersan. Di Bandung, tepatnya di Cisarua, ia dijadikan cadangan pada Markas Besar Angkatan Darat. Ia hanya berada di sana selama satu minggu. Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah dan Jepang berkuasa di Indonesia. Karena takut diringkus oleh Jepang, Soeharto dan temannya melarikan diri ke daerah Wuryantoro.
            Namun sayang setibanya di Wuryantoro, Soeharto menderita malaria. Ia menderita malaria kurang lebih selama enam bulan. Sementara Soeharto terbaring lemah di tempat tidur, Jepang membentuk lembaga – lembaga keamanan diantaranya yaitu Keibodan, Seinendan, dan Fujin Kai. Karena merasa bosan tidak ada kegiatan, Soeharto akhirnya memutuskan untuk mencari pekerjaan di Yogyakarta. Ia belajar kursus mengetik di daerah Patuk, di depan asrama polisi. Suatu hari, Soeharto membaca pengumuman yang menyebutkan bahwa Keibuho (Polisi) menerima anggota baru. Ia kemudian mendaftar dan berhasil lulus menjadi nomor satu. Ia pun kemudian di perintahkan untuk belajar bahasa Jepang dan mendaftarkan diri masuk ke PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air).
            Sama seperti ketika masuk ke Keibuho, Soeharto tidak menyebutkan dirinya bekas KNIL ketika masuk PETA. Hal itu dilakukannya agar ia tidak tertangkap oleh Jepang. Soeharto berhasil lulus untuk dilatih sebagai Schodancho (komandan peleton). Latihan tersebut dijalaninya selama empat bulan. Setelah lulus dilatih sebagai Shodancho, Soeharto kemudian dipilih untuk melatih Chudancho di Bogor yang diselesaikannya pada tahun 1944. Selesai dilatih menjadi Chudancho, Soeharto kemudian ditempatkan di Seribu, markas besar PETA di Solo. Sebagai Chudancho di Markas Besar PETA Soeharto memegang bagian pendidikan.
Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran. Perkawinan Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri yaitu Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
            Nama Soeharto kemudian semakin dikenal dengan serangan tiba – tibanya untuk menguasai Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 yang dilakukannya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Kemudian pada tahun 1950, Soeharto bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Dipenogoro Jawa Tengah. Pada tahun 1959, Soeharto terlibat dalam kasus penyelundupan dan hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Namun atas saran Jenderal Gatot Subroto pada saat itu, Soeharto dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat.
            Pada tahun 1961, Soeharto berhasil mencapai pangkat Brigadir Jenderal dan memimpin Komando Mandala yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari sana, Soeharto mendapat kenaikan pangkat menjadi mayor jenderal dan ditarik ke Markas Besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Pada pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
            Pada tahun 1965, ABRI khusunya Angkatan Darat mengalami konflik internal sehingga pecah menjadi dua fraksi (sayap kiri dan sayap kanan). Konflik ini terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan Soekarno pada saat itu. Soeharto berada di sayap kanan. Dari operasi militer ini Soeharto berkenalan dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali Murtopo, dan Kapten Benny Murdani. Orang – orang ini yang kemudian tercatat sebagai orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahan Soeharto.
            Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 beberapa pasukan pengawal kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain, menculik dan membunuh enam orang jenderal. Pada peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Hanya Mayor Jenderal Soeharto yang terselamatkan dan tidak menjadi target percobaan tersebut meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
            Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif.
Ketika pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak MPRS pada tahun 1967, Soeharto kemudian diangkat menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Soeharto mendirikan suatu era apa yang disebut Orde Baru.            Selama 32 tahun memimpin banyak sekali kinerja dan problematika yang dihadapinya. Berikut akan diuraikan lebih mendalam tentang bagaimana kinerja dan problematika masa kepemimpinan Soeharto (1966 – 1998) beserta analisis gaya kepemimpinan dan model komunikasi Presiden Soeharto menggunakan pendekatan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats).

B.     Kinerja dan Problematika di Era Kepemimpinan Presiden Soeharto (1966 – 1998)

Memimpin negara selama lebih dari tiga dekade bukanlah waktu yang singkat bagi seorang presiden. Selama kurun waktu tersebut tentu banyak hal yang telah dilakukanya. Sebagai presiden yang pernah menjabat selama 32 tahun, Presiden Soeharto telah menetapkan dan melalukan berbagai kebijakan dalam berbagai aspek baik ekonomi, sosial, budaya maupun hankam. Kebijakan – kebijakan tersebut tentunya tidak semua terealisasi dengan baik. Ada sebagian kebijakan yang terwujud sesuai dengan harapan dan mendatangkan kesejahteraan, namun ada juga yang tidak bahkan menimbulkan kontroversi dari masyarakat. Berikut akan diuraikan kinerja yang telah dilakukan Presiden Soeharto beserta problematika yang dihadapi selama kepemimpinannya.
B.1. Kinerja dan Keberhasilan Presiden Soeharto
a.       Melaksanakan Program Transmigrasi
Salah satu kebijakan strategis yang diterapkan oleh Soeharto adalah dengan melaksanakan program transmigrasi, yakni program yang berupaya dalam pemerataan dan penyebaran penduduk di dalam negeri. Disamping membuka lapangan pekerjaan, program transmigrasi juga ditujukan untuk membuka dan mengembangkan daerah produksi baru di luar Jawa dan Bali, terutama membuka daerah pertanian yang baru. Program transmigrasi adalah program multisektoral, meliputi aspek kependudukan (demigrafis), perpindahan penduduk, pendidikan, kesehatan, pemilikan lahan, hankam, pekerjaan umum, pembangunan daerah dan lain – lain.
Begitu pentingnya keberhasilan program transmigrasi ini, sehingga Soeharto dengan Keppres 26/1978 menetapkan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi yang melibatkan beberapa departemen dan lembaga – lembaga negara. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah sangat mendorong terselenggaranya transmigrasi, baik transmigrasi umum (yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah) ataupun transmigrasi spontan (transmigrasi swakarsa yaitu mereka yang mebiayainya sendiri).
Harus diakui bahwa di sisi lain program transmigrasi ini sesungguhnya adalah menjadikan NKRI sebagai suatu wilayah bersama dari semua warga negara Indonesia. Setiap warga negara berhak tinggal di seluruh wilayah NKRI tanpa diskriminasi karena pada hakikatnya kita sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dibatasi oleh sekat – sekat kedaerahan atau primordialism.
b.      Program Keluarga Berencana
Hubungan pertambahan penduduk dengan tingkat kemakmuran yang hendak dicapai sangat erat kaitannya. Maka dengan kebijakan kependudukan yang tepat dan terencana adalah salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan nasional. Menurut Soeharto, kenaikan produksi pangan yang besar tentu tidak akan banyak artinya jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali. Karena itu pelaksanaan program keluarga berencana sangat penting artinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pada saat Soeharto menjadi presiden, program Keluarga Berencana (KB) merupakan bagian intergral dari pembangunan nasional.
Program KB dikoordinasikan oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang dibentuk tahun 1970. Program ini semula memang ditentang secara luas, namun kemudian mendapat dukungan dari pemuka agama dan masyarakat Indonesia sendiri. Malahan KB bukan lagi sebuah program yang dipaksakan pemerintah, tetapi menjadi popular di kalangan keluarga dan dilaksanakan atas kesadaran sendiri. Dalam mencapai strategi program kependudukan, ketika itu BKKBN menerapkan beberapa kebijakan, yakni:
1. pengendalian kelahiran.
2. penurunan tingkat kematian, terutama kematian ibu dan anak.
3. perpanjangan harapan hidup.
Untuk kelancaran program KB tingkat nasional, pada tahun anggaran 1970/1971 pemerintah mulai memberikan bantuan sebesar 1,3 juta dolar AS dari para donatur asing. Bantuan pun terus meningkat dari tahun ke tahun, menjadi 34,3 juta dolar AS tahun 1977/1978.
Strategi yang diterapkan dalam Program Kependudukan dan Keluarga Berencana adalah tercapainya jumlah penduduk yang serasi dengan laju pembangunan. Peserta KB secara kumulatif meningkat dari sekitar 1,7 juta orang pada akhir Repelita I menjadi sekitar 21,5 juta orang pada akhir Repelita V, atau naik 12,6 kali lipat. Program KB telah berhasi menekan laju pertambahan penduduk secara nyata serta meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia.
Prestasi yang dicapai dalam program KB ini mengundang rasa kagum UNICEF. Lembaga PBB yang menangani masalah anak dan pendidikan ini seperti dinyatakan direktur eksekutifnya, James P. Grant, memuji Indonesia karena berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya untuk menyejahterakan kehidupan anak – anak Indonesia. Data yang ada menyebutkan, pada Pelita III tingkat kematian bayi di Indonesia masih mencapai 100/1000 kelahiran. Namun kemudian menurun menjadi 70/1000 kelahiran pada Pelita IV dan pada tahun 1990-an bisa ditekan menjadi 50/1000 kelahiran.
Perhatian Soeharto terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dilakukan secara terus menerus. Ia bahkan langsung turun ke lapangan. Soeharto dan Ibu Tien (Alm) bahkan meminumkan sendiri cairan vaksin polio kepada bayi dan anak – anak balita untuk melaksanakan program imunisasi polio di seluruh tanah air, sehingga Indonesia bisa bebas dari polio kala itu.
Dengan adanya program KB ini, Soeharto telah berhasil mengubah persepsi “banyak anak banyak rezeki” menjadi “keluarga kecil bahagia”. Pandangan hidup ini kemudian mendarah daging pada mayoritas masyarakat Indonesia.
Atas keberhasilan pelaksanaan program Kependudukan dan KB, Soeharto memperoleh Penghargaan Tertinggi PBB di bidang kependudukan atau disebut dengan UN Population Award. Penghargaan ini disampaikan langsung oleh Sekjen PBB Javier de Cuellar di markas besar PBB di New York. Pernghargaan tersebut diserahkan bertepatan dengan hari ulang tahun Soeharto ke 68 pada 8 Juni 1989.
c.       Swasembada Beras
Potensi yang dimiliki bangsa Indonesia yang paling kentara adalah di bidang pertanian. Soeharto sadar betul akan potensi tersebut. Karena itu, pembangunan di sektor pertanian mendapat perhatian utama di era kepemimpinan Soeharto. Bukan saja karena ia anak petani yang peduli pada nasib petani, namun kehidupan pertanian itulah yang dilihatnya sebagai potensi besar yang harus digali secara maksimal.
Kerja keras dalam bidang pertanian sejak Pelita I (1969), membuat Indonesia mampu meningkatkan hasil pertanian dan memperbaiki kehidupan petani. Dan hasilnya, tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Itulah yang dipikirkan oleh Soeharto karena ia sadar beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Keberhasilan ini mempunyai nilai spektakuler karena mengubah Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi swasembada. Sukses ini mengantar Soeharto diundang berpidato di depan konferensi ke-23 FAO pada 14 November 1985 di Roma, Italia. Pada kesempatan itu, Soeharto menyerahkan bantuan 1.000.000 ton gabah yang merupakan sumbangan dari para petani Indonesia untuk diserahkan kepada rakyat di negara – negara Afrika yang menderita kelaparan. “Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil maka itu merupakan “kerja raksasa” dari seluruh bangsa Indonesia.” kata Soeharto di dalam pidatonya di depan wakil – wakil dari 165 negara anggota FAO.
Kerja keras para petani ini berhasil meningkatkan produksi beras, yang tahun 1969 hanya sebesar 12,2 juta ton menjadi lebih dari 25,8 juta ton pada tahun 1984. Kepada peserta konferensi, Soeharto juga memperkenalkan seorang petani andalan asal Tajur, Bogor yang ikut dalam rombongannya.
Atas keberhasilan swasembada pangan ini, Dirjen FAO Dr. Edouard Saouma dalam kunjungannya ke Jakarta, Juli 1986, menyerahkan penghargaan medali emas FAO. Medali tersebut menampilkan gambar Soeharto dan di sisi lainnya gambar seorang petani yang sedang menanam padi dengan tulisan “From Rice Importer to Self-Sufficiency”.
Ini memang sebuah penghargaan yang luar biasa bagi negara Indonesia. Penghargaan internasional ini membuat Indonesia semakin dikagumi dan disegani oleh negara – negara lain. Berkat kreasi Soeharto, negeri ini bisa mencapai swasembada beras bahkan bisa memberikan bantuan beras kepada negara – negara lain.
d.      Membuat Konsep Trilogi Pembangunan
Untuk membangun bangsa Indonesia dari keterpurukan, Soeharto tentu memiliki konsep dasar sebagai landasan ia bekerja. Untuk itu, Soeharto memperkenalkan konsep Trilogi Pembangunan pada awal Pelita I meliputi:
1.      Pemerataan pembangunan dan hasil – hasilnya yang menuju pada tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Soeharto meletakkan dasar – dasar  pembangunan berkelanjutan melalui Pelita, dan menetapkan Trilogi Pembangunan sebagai strategi untuk tinggal landas menuju masyarkat Indonesia yang adil dan sejahtera. Stabilitas nasional dibutuhkan untuk kelancaran pembangunan, juga untuk menarik minat investor asing guna ikut menggerakkan roda ekonomi dan membuka lapangan kerja. Sebab, tanpa pertumbuhan ekonomi tidak akan ada pemerataan hasil – hasil pembangunan.
e.       Integrasi Timor Timur
Pada tahun 1974 muncul masalah di wilayah Timor Portugis. Indonesia menganggap bahwa jalan yang terbaik bagi Timor Portugis untuk mencapai kemerdekaannya ialah melalui penggabungan dengan Indonesia. Tetapi, keputusan tetap yang menentukan adalah rakyat Timtim sendiri karena Soeharto tidak pernah berambisi untuk mencaplok negara lain. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia jelas menentang segala bentuk penjajahan. Termasuk juga penjajahan Portugis atas wilayah Timor Timur. Namun rencana penggabungan tersebut menimbulkan banyak reaksi baik yang pro maupun yang kontra.
Pada bulan Agustus 1975, muncul keributan di Timtim. Partai UT bersama Apodeti (pro penggabungan) berhadapan dan bertentangan dengan Fretilin (dukungan Portugis) hingga akhirnya pecahlah perang saudara diantara mereka. Karena lemah, Apodeti meminta bantuan RI dan menganggap Indonesia sebagai saudara mereka sendiri. Kemudian pemerintah memberikan bantuan dengan mengirim sukarelawan.
Atas keterlibatan Indonesia dalam wilayah konflik Timor Portugis itu, banyak sorotan dunia internasional kepada pemerintah Indonesia, terutama dari pemerintah Portugis sendiri yang menganggap Timor Timur adalah bagian dari teritorialnya. Hanya saja ketika itu pemerintah Portugis didominasi komunis, sehingga negara – negara di kawasan ASEAN termasuk juga Australia merasa tidak nyaman. Bahkan sebagian warga Timor Timur sendiri sangat menentang pemerintahan komunis di Portugis. Maka konflik internal di wilayah Timor Timur pun mulai bergolak.
Akhirnya berkat kelebihan diplomasi internasional dan pengalaman strategi militer Soeharto, pada bulan Juli 1976 terjadi penggabungan resmi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia. Inilah salah satu jasa Soeharto yang tidak bisa diingkari walau akhirnya Timtim kembali dilepaskan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
f.       Membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mulai dibangun pada tahun 1972 dan diresmikan 20 April 1975. Taman Mini merupakan suatu kawasan wisata budaya yang menggambarkan Indonesia yang besar dalam bentuknya yang kecil (sebuah miniatur) dimana berbagai aspek kekayaan alam dan budaya bangsa Indonesia yang diperagakan di area seluas 150 hektar. Dengan berekreasi ke TMII, pengunjung serasa mengelilingi Indonesia dengan membawa berbagai pemahaman tentang kebesaran tanah air Indonesia.
Pembangunan TMII digagas oleh Ibu Tien Soeharto. Gagasan ini berupa keinginan atau cita – cita untuk membangkitkan rasa bangga dan tebalnya rasa cinta tanah air. Gagasan ini tercetus pada suatu pertemuan di Jalan Cendana No. 8 Jakarta pada tanggal 13 Mei 1970.
Mulanya banyak pihak menentang keras rencana pembangunan TMII ini karena dianggap mubazir, mambuang biaya, dan sama sekali tak bermanfaat. Namun hati Bu Tien tetap bersikeras untuk mewujudkannya. Karena TMII adalah penting untuk masa depan bangsa, khususnya generasi ke generasi. Maka dimulailah suatu proyek yang disebut Proyek Miniatur Indonesia “Indonesia Indah” yang dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita.
Kekokohan hasil proyek ini terbentuk berkat filsafat yang berpangkal pada amanat – amanat Soeharto yang pada intinya ialah keseimbangan usaha pembangunan fisik dan ekonomi dengan pembangunan mental spiritual. Filsafat inilah yang menjadi batu pijakan pembangunan dan pengembangan proyek pembuatan Taman Mini Indonesia Indah.
Ada lima aspek dan prospek yang dijadikan baik pijakan pembangunannya maupun pandangan dalam pengembangannya yaitu spiritual, pendidikan dan kebudayaan, teknologi, ekonomi, dan kesejateraan. Aspek dan prospek spiritual serta pendidikan dan kebudayaan adalah aspek yang tidak terlepaskan dari pandangan hidup Soeharto. Bahkan ia mengatakan bahwa setiap usaha pembangunan ekonomi tidak mungkin dilakukan tanpa pembangunan mental, spiritual, rohaniah dan sosial.
Kini manfaat dari pembangunan TMII yang diprakarsai Soeharto dan Ibu Tien dapat dirasakan oleh semua rakyat hingga ke anak cucu. TMII memperkenalkan seni budaya bangsa dan menjadi ajang rekreasi yang sehat bagi kita semua. Selain itu, TMII bukan hanya dapat dijadikan tempat rekreasi bagi warga dan wisatawan asing, tetapi juga merupakan pusat kebudayaan Indonesia yang dapat kita banggakan. 

B.2. Problematika yang Dihadapi Selama Kepemimpinan Presiden Soeharto
a.       Peristiwa Malari
Salah satu kejadian yang cukup kontroversial pada orde baru adalah peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan Malari. Peristiwa ini terjadi tepat pada saat kunjungan Perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia. Jepang pada saat itu dianggap sebagai pemeras ekonomi Indonesia karena mengambil lebih dari 53% ekspor (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok 29% impor Indonesia, selain itu investasi jepang yang semakin bertambah dari waktu ke waktu di Jawa dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil pribumi. Hal ini mendapat perhatian dari masyarakat khususnya kalangan mahasiswa. Tepat pada hari kedatangan PM Jepang Tanaka, mahasiswa se-Indonesia melakukan aksi bersama di pusat ibukota. Pergerakan ini dipimpin oleh Hariman Siregar yang saat itu menjabat sebagai ketua DMUI. Aksi apel besar yang dipusatkan dihalaman Universitas Trisakti ini tadinya merupakan aksi damai, namun tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki diberbagai tempat di wilayah ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang semuanya dibakar, bahkan gedung-gedung dan pusat perbelanjaan di Senen, Harmoni, pun ikut dibakar. korban-korban berjatuhan, dari yang luka kecil bahkan sampai korban jiwa. Total terdapat 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dibakar, 160 kg emas raib. Selain itu terdapat 144 gedung yang porakporanda termasuk gedung Astra Toyota Motors, coca-cola, Pertamina, dan puluhan toko di proyek Senen.
Setelah diusut ternyata terdapat oknum-oknum gelap dibalik peristiwa Malari itu. Kenyataanya aksi pelajar dan mahasiswa itu telah ditunggangi oleh pihak tak bertanggung jawab. Pada siang hari itu, mahasiswa dan pelajar sedang melakukan apel besar untuk menolak modal Jepang terkait kedatangan PM Jepang, namun ternyata terdapat mahasiswa selundupan yang diduga telah dibayar oleh seseorang asisten pribadi presiden bernama Ali Moertopo untuk melakukan provokasi terhadap masyarakat agar melakukan kerusuhan sehingga terkesan kalau mahasiswa merupakan dalang dibalik kerusuhan ini. Ternyata peristiwa Malari ini bukan peristiwa yang sederhana, terdapat banyak faktor dan latar belakang yang menyebabkan peristiwa ini terjadi.
Kronologi Kejadian
Peristiwa Malari sendiri bukanlah satu-satunya kejadian yang terjadi akibat masalah ekonomi pada saat itu. Jauh sebelum Malari terjadi telah ada aksi-aksi lain yang sebenarnya menjadi menjadi pemicu terjadinya Apel Tritura jilid II pada tanggal 15 Januari 1974 yang berujung huru-hara itu.
a.       Diskusi 28 tahun kemerdekaan Indonesia
Acara ini digelar oleh Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pada tanggal 13-16 Agustus 1973 dengan mengundang Soebadriosastrosatomo, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB. Simatupang. Kesimpulan dari diskusi ini adalah perlunya praktik politik dan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah dan bukan sekedar diskusi-diskusi.
Dikalangan generasi muda dan tua masih terdapat perbedaan pandangan mengenai struktur politik serta lebih banyak kondisi dihadapi dalam merumuskan strategi bersama. Ada dua pandangan dalam melihat praktik kekuasaan yaitu, melihatnya dari luar dan mengubahnya dari dalam.
b.      Petisi 24 Oktober
Untuk memperingati sumpah pemuda DMUI menggelar sebuah diskusi yang mengundang perwakilan dari tiap-tiap angkatan mahasiswa: ’28, ’45, ’66. Adapun untuk pembicara adalah Soediro (perwakilan angkatan 28), B.M. Diah (mewakili angkatan 45), Cosmos Batubara (mewakili angkatan 66), dan juga Hariman Siregar. Ada juga pembicara lain seperti Emil Salim dan juga Frans Seda. Dari hasil diskusi ini lahirlah Petisi 24 Oktober yang dibacakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
c.       Ikrar 10 November 1973
Ikrar ini di buat untuk memperingati hari pahlawan para mahasiswa yang terdiri dari 8 dewan mahasiswa antara lain UI, ITB, dan UNPAD. Membacakan sebuah ikrar mengenai kesatuan tekad dan meningkatkan solidaritas sesama mahasiswa.
d.      Kedatangan J.P. Pronk (ketua IGGI)
Kedatangan ketua IGGI, sebuah organisasi yang mengatur hutang di Indonesia, disambut dengan demonstrasi dan poster-poster berisi kalimat protes dari mahasiswa. Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga di Yogyakarta.
e.       Diskusi tanggal 30 November 1973
Diskusi mengenai untung rugi modal asing ini diadakan di Balai Budaya Jakarta oleh eks anggota Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia seperti, Mochtar Lubis, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien. Diskusi ini menghasilkan sebuah ikrar yaitu “Ikrar Warga Negara Indonesia” yang ditandatangani oleh 152 orang yang hadir.
f.       Malam Tirakatan 31 Desember 1973
Pada malam tahun baru ini DMUI menggelar sebuah malam renungan yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Malam itu Hariman Siregar membacakan sebuah pidato yang berjudul “Pidato Pernyataan Dari Mahasiswa”. Pidato itu dituding menjadi seruan untuk gerakan makar terhadap pemerintah. Dalam pidato itu menunjukkan bukti peran pemuda akan kepedulian terhadap keadaan bangsa dan pemuda bisa melakukan perubahan.
g.      12 – 15 Januari 1974
Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang diwakili oleh ketua dewan mahasiswa masing – masing bertemu dengan presiden. Pertemuan ini menghasilkan 6 tuntutan mengenai pemberantasan korupsi dan pembenahan ekonomi. Karena tidak puas dengan hasil diskusi bersama presiden akhirnya seluruh mahasiswa yang hadir berkumpul kembali di Student Center UI di Salemba mereka memutuskan untuk melakukan sebuah apel akbar di halaman utama Universitas Trisakti pada tanggal 15 Januari 1974 untuk membacakan kembali tuntutan mereka.
Pada tanggal 14 Januari 1974, PM Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia. Dia disambut dengan demonstrasi kecil-kecilan di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, kejadian ini membuat pemerintah memperketat penjagaan terhadap seluruh aksi mahasiswa.
Tepat keesokan harinya, 15 Januari 1974, ratusan mahasiswa dan pelajar berkumpul di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba, untuk melakukan longmarch ke halaman Universitas Trisakti. Rencananya nanti mereka akan membacakan Tritura Jilid II yang berisi 1) Bubarkan Aspri, 2) hentikan modal asing, 3) hukum para koruptor.
Namun kejadian ini digunakan oleh pemerintah untuk menjatuhkan mahasiswa. Ada Invisible Hand yang menyusupkan orang-orang bayaran untuk mengacaukan aksi dan melakukan provokasi sehingga terjadi huru-hara. Diduga orang yang melakukan ini adalah Ali Moertopo namun ada juga indikasi kalau Soeharto sendiri yang melakukan ini untuk menghentikan aksi mahasiswa.
b.      Diskriminasi Terhadap Etnis Cina
Pada masa pemerintahan Orde Baru, keberadaan Etnis Cina merupakan masalah yang krusial dalam tatanan pemerintahan Soeharto. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang berkembang di Indonesia. Citra Etnis Cina akhirnya dinilai memiliki pandangan yang negatif dikalangan pemerintahan Soeharto yang terlihat dalam kebijakan-kebijakannya.
Kebijakan asimilasi ditunjukkan untuk mengasimilasi dan menyerap Etnis Cina ke dalam Penduduk Indonesia. Kebijakan asimilasi ini meliputi penggunaan bahasa Indonesia terhadap nama-nama orang Etnis Cina di Indonesia, dalam hal pendidikan mengenai anak-anak Etnis Cina yang berkewarganegaraan Indonesia untuk masuk sekolah Indonesia, partisipasi politik dengan mengasimilasi organisasi-organisasi yang terbentuk pada zaman Soekarno.
Dalam bidang ekonomi, Soeharto memberikan kesempatan kepada keturunan Tionghoa untuk mengembangkan usahanya dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya. Dengan begitu ia membuka pintu Indonesia serta menerapkan politik pro-bisnis dan politik asimilasi total serta menghapus budaya Tionghoa menjadi Etnis Cina, sehingga Etnis Cina dapat menikmati kebebasan ekonomi dan pembatasan berpolitik. Kebijakan yang diterapkan pada zaman Orde Baru masih tetap menghadapi diskriminasi.
Di bidang sosial, pemerintah ingin membentuk sebuah masyarakat multiEtnis menjadi sebuah bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Motto Bhineka Tunggal Ika (Persatuan dalam perbedaan) mengakui berbagai kelompok Etnis di Indonesia.  Motto tersebut berlaku terhadap minoritas pribumi regional ini tetapi tidak berlaku terhadap Etnis Tionghoa. Tujuan kebijakan Indonesia ini adalah menyerap Etnis Tionghoa ke dalam kelompok pribumi.
Kebijakan dalam bidang kebudayaan tidak berhasil dilaksanakan, karena orang-orang Etnis Tionghoa masih melestarikan budaya leluhurnya. Dari semua kebijakan asimilasi yang paling berhasil dalam bidang pendidikan. Orang Tionghoa yang berkewarganegaarn Indonesia diharuskan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah Indonesia. Banyak sekolah Cina yang dirubah menjadi sekolah Indonesia. Sebagian besar anak-anak dari peranakan Tionghoa mengenyam pendidikan di Indonesia, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan membatasi jumlah Etnis Tionghoa yang berkuliah di Universitas-Universitas Negeri. Pemerintah hanya mengijinkan 10% orang-orang Tionghoa Indonesia untuk masuk Universitas negeri.
c.        Kegagalan Dalam Bidang Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
d.      Krisis Moneter
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997 telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, padahal fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998.
e.       Kerusuhan Mei 1998
Krisis moneter dan ekonomi yang menimpa Indonesia sejak Juni 1997 berkembang menjadi krisis multidimensi. Demo melawan rezim militer Soeharto terus – menerus meningkat di seluruh kota, terlebih di Jakarta yang dimotori oleh mahasiswa dan pemuda. Demo di lingkungan kampus mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol pada 12 Mei 1998 dihadapi oleh ABRI dengan tembakan senjata yang menewaskan 4 orang mahasiswa. Hari berikutnya terjadi berbagai upaya provokasi terhadap mahasiswa Trisakti untuk melakukan kekerasan, tetapi pancingan itu tidak mempan.
Berbagai demo pada 13 Mei diikuti berbagai insiden kekerasan, pada malam harinya terjadi ancaman kerusuhan, hari berikutnya 14 Mei di Jakarta terjadi kerusuhan yang dengan cepat berkembang. Terjadi pembakaran dan penjarahan pertokoan, perkantoran dan beberapa perumahan yang merembet ke seluruh Jakarta, hari berikutnya meluas ke seluruh Jabodetabek, malahan sampai ke kota lain di Indonesia. Dalam kerusuhan dan pembakaran di Jakarta dan sekitarnya telah jatuh korban 2.224 meninggal. Kebanyakan dalam kondisi terpanggang api di pertokoan dan mal yang dibakar ketika penjarahan sedang memuncak. Selama kerusuhan telah terjadi perkosaan terhadap 152 perempuan Etnis Tionghoa di berbagai tempat, di jalanan, di tempat lain, utamanya di perumahan. Perkosaan dilakukan secara bergerombol, 20 diantaranya meninggal. Sebagian rumah korban perkosaan ini kemudian dibakar beserta korbannya. Hal ini terungkap dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Tim Relawan untuk kemanusiaan yang disampaikan oleh Romo Sandyawan.
Berdasarkan pengamatan langsung, apa yang terekam di televisi dan penyelidikan Tim Relawan di atas menunjukkan penjarahan dan pemerkosaan dilakukan setelah adanya provokasi dan hasutan dari gerombolan tak dikenal. Gerombolan tersebut umumnya berbadan kekar berotot, berambut cepak, mengenakan sepatu bot militer dengan penampilan jagoan. Para provokator tidak dikenal oleh penduduk setempat, mereka diangkut dengan bus atau truk dalam jumlah 20 – 30 orang. Kaum provokator sendiri tidak melakukan penjarahan. Pada saat massa sedang seru – serunya menjarah dan merusak pertokoan atau mal, maka lantai bawah dalam beberapa detik saja dibakar dan menjarah dengan cepat ke seluruh bangunan. Lalu para provokator menghilang dengan cepat. Nampaknya pembakaran dilakukan dengan peralatan yang tidak biasa dan dilakukan oleh orang – orang terlatih. Seperti yang ditulis pakar sinologi I Wibowo, kerusuhan itu hasil rekayasa elite politik yang mempunyai sumber daya yang luar biasa, baik dana maupun manusia, sadar sepenuhnya akan kerapuhan Etnis Tionghoa terhadap aksi dengan isu rasial.

C.    Analisis SWOT Gaya Kepemimpinan dan Model Komunikasi Presiden Soeharto

C.1. Kepemimpinan Presiden Soeharto
a.       Gaya Kepemimpinan
            Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Berdasarkan teori psikologi kepemimpinan, sifat kepemimpinan yang ada pada diri Soeharto muncul karena dinamika dan interaksi sosial. Artinya, jiwa kepemimpinan Soeharto tidak diwariskan secara turun temurun dari keluarganya.
Tahun – tahun pemerintahan Soeharto diwarnai dengan praktik otoritarian dimana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Soeharto merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat.
b.      Orientasi
b.1. Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup daerah pembangunan nasional. Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional Daerah Tingkat I Provinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Berdasarkan analisis program–program selama masa kepemimpinannya, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor – sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi.
b.2. Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert (1961) disebut “exploitative – authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur, memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita surat kabar juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga – lembaga politik lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan pesan – pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada pihak lainnya.
c.       Kepribadian
Menurut penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.

C.2. Model Komunikasi Presiden Soeharto
a.       Pola Komunikasi
Menurut Edward T. Hall (1976) bahasa yang digunakan seseorang  terbagi menjadi dua yaitu bahasa konteks tinggi dan bahasa konteks rendah. Bahasa konteks tinggi adalah bahasa yang penuh isyarat. Bahasa jenis ini sulit dipahami maknanya tanpa memahami konteks yang ada disekitarnya khususnya konteks budaya. Sedangkan bahasa konteks rendah tidak sulit dipahami sebab disampaikan secara lugas, to the point, dan apa adanya. Berdasarkan pembagian ini, bahasa yang digunakan Soeharto dalam berkomunikasi adalah bahasa konteks tinggi.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya.
Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan – pesan politiknya dari periode ke periode mengalami pasang – surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa  jabatan pertama 1968 – 1973, dominasi gagasan – gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973 – 1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993 – 1998, isi pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.
b.      Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau coercive). Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan itu.
Meskipun demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya berupa penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.

C.3. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau program. Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang dan identifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matriks SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru.
Metode SWOT adalah metode yanag akan penulis gunakan untuk menganalisa gaya kepemimpinan dan model komunikasi Soeharto pada masa kepemimpinannya. Dalam analisis ini akan digunakan empat kriteria penilaian yaitu kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Untuk lebih jelasnya berikut akan dijabarkan masing – masing kriteria.
1.      Kekuatan (stength)
Dalam teori behaviorisme dikatakan bahwa lingkungan memengaruhi kepribadian dan tingkah laku seseorang. Teori ini nampaknya teori yang tepat untuk menggambarkan sifat dan kepribadian Soeharto. Sebagai seseorang yang hidup dan besar di lingkungan militer, Soeharto memiliki sikap cekatan dan sistematis. Sikap tersebut sangat jelas terlihat pada gaya kepemimpin melalui pelaksanaan berbagai kebijakan. Salah satu contohnya adalah Repelita yang merupakan rancangan pembangunan dalam jangka lima tahun. Repelita merupakan kebijakan bersifat sistematis dan berkelanjutan yang sangat menggambarkan sikap Soeharto. Sikap cekatan dan sistematis ini merupakan kekuatan utama Soeharto pada masa kepemimpinannya yang membuat pembangunan nasional di berbagai bidang bisa terlaksana dengan baik.
Selain sikap cekatan dan sistematis, presiden Soeharto memiliki sifat pemberani. Hal ini merupakan modal penting bagi seorang pemimpin ketika menghadapi suatu permasalahan. Sifat pemberani Soeharto sangat terlihat jelas dari peristiwa penggabungan Timor Timur dimana Soeharto berani mengambil kebijakan untuk membantu Timor Timur meskipun harus berhadapan dengan Portugis.
Selain pada sikap dan kepribadiannya, gaya kepemimpinan Soeharto juga dapat menjadi kekuatan. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa gaya kepemimpinan Soeharto cenderung otoriter, dominan, dan sentralistis. Banyak orang yang menganggap gaya kepemimpinan seperti ini adalah gaya kepemimpinan yang salah karena tidak memperdulikan aspirasi dari masyarakat. Namun menurut penulis, gaya kepemimpinan seperti ini tidak selamanya salah tergantung pada situasi dan kondisi di suatu negara. Gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Soeharto merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Selain itu dengan gaya kepemimpinan yang seperti ini juga akan membuat masyarakat patuh terhadap kebijakan pemerintah, sehingga semua kebijakan dapat terlaksana dengan baik.
Dilihat dari cara kemampuan berkomunikasinya, Soeharto memiliki kemampuan berdiplomasi yang mumpuni. Hal ini terlihat dari cara Soeharto berdiplomasi di sidang internasional dalam rangka penggabungan Timor Timor menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Memang di satu sisi, dalam komunikasi sehari – hari beliau selalu menggunakan bahasa konteks tinggi yang sulit dipahami. Namun di sisi lain Soeharto memiliki kemampuan diplomasi yang luar biasa.
Kekuatan selanjutnya yang dimiliki Soeharto adalah beliau memiliki jiwa semangat yang tinggi. Dalam melaksanakan program – programnya Soeharto memiliki jiwa semangat yang tinggi untuk menjamin program – programnya dapat berjalan dengan baik. Meskipun harus dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan untuk mensukseskan program kesehatan untuk anak – anak, presiden Soeharto langsung terjun ke lapangan. Jiwa semangat ini sangat jarang sekali dimiliki oleh seorang pemimpin. Selain itu, Soeharto juga orang yang visioner. Beliau adalah orang yang selalu melihat ke depan yang terwujud dalam berbagai kebijakannya. Salah satu kebijakan yang paling nyata adalah dengan penetapan Repelita yang merupakna acuan dalam melaksanakan program – program. Dalam Repelita, tertera rencana – rencana pembangunan yang akan dilakukan baik untuk jangka waktu yang pendek atau jangka waktu yang panjang. Contoh lainya adalah pelaksanaan program transmigrasi dan membuka peluang investasi asing. Dengan dilakukannya program transmigrasi akan membuka lapangan pekerjaan, program transmigrasi juga ditujukan untuk membuka dan mengembangkan daerah produksi baru di luar Jawa dan Bali, terutama membuka daerah pertanian yang baru.

2.      Kelemahan (weaknesses)
Selain memiliki kekuatan, gaya kepemimpinan dan model komunikasi yang digunakan Soeharto juga mempunyai kekurangan. Gaya kepemimpinan Soeharto yang terkesan otoriter, dominan dan sentralistik memang awalnya tepat karena pada masa awal kepemimpinannya tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun seiring dengan berkembangnya pemikiran masyarakat dan masyarakat semakin tahu apa itu demokrasi, maka gaya kepemimpinan yang otoriter tidak lagi menjadi kekuatan malah justru kelemahan yang berujung pada lengsernya Soeharto.
Dilihat dari model komunikasinya, Soeharto menggunakan bahasa konteks tinggi. bahasa seperti ini penuh dengan isyarat yang terkadang sulit untuk dipahami tanpa memahami konteks yang ada disekitarnya khususnya konteks budaya. Presiden Soeharto dalam berkomunikasi dengan bawahannya sering kali tidak secara gamblang menyampaikan apa yang dimaksudkan. Indikasi dari penggunaan bahasa konteks tinggi Soeharto adalah keengganannya untuk menemui orang yang tidak disenanginya. Ketika menerima menteri di ruang kerjanya, Soeharto mempunyai cara tersendiri untuk “mengusir” sang tamu jika ia sudah bosan dengan tamunya yaitu dengan melihat jam tangan atau mempersilahkan tamunya untuk minum. Penggunaan bahasa konteks tinffi ini tentunya akan menimbulkan penafsiran yang berbeda karena setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda – beda tentang suatu hal. Selain itu, Soeharto sering kali dalam menyampaikan pesannya, presiden menggunakan orang ketiga. Penggunaan orang ketiga dalam menyampaikan pesan jelas merupakan kekeliruan yang diterapkan Soeharto dalam berkomunikasi. Karena sering kali pesan yang disampaikan oleh orang ketiga tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh Soeharto.
Selain bahasa yang digunakan Soeharto adalah bahasa konteks tinggi, Soehrto juga sering kali tidak transparan. Hal ini jelas akan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak terutama masyarakat yang membutuhkan transparansi dari pemerintah. Selaian itu presiden juga terkesan tidak mau menerima kritik dari masyarakat. ketika ada pihak – pihak tertentu yang mencoba mengkritik pemerintah, dengan cepat pemerintah mengamankan orang yang bersangkutan. Kemudian beberapa kebijakan Soeharto pun dinilai masih belum maksimal. Dalam memuluskan kebijakan – kebijakannya, pemerintah pada masa kepemimpinan Soeharto masih memiliki ketergantungan hutang dengan negara lain.
Jiwa semangat Soeharto selain memiliki keunggulan, juga dapat membawa dampak yang kurang baik. Soeharto terkesan ambisius dalam mewujudkan program – programnya. Hal ini sangat terlihat dari cara beliau menggunakan cara – cara yang sebenarnya tidak tepat. Misalnya saja ketika Soeharto ingin mewujudkan swasembada pangan. Untuk mewujudkan impiannya, presiden memerintahkan kepada para petani untuk menanam padi dengan jenis yang sama. Kemudian presiden juga memerintahkan untuk menggunakan pupuk kimia dan melarang penggunaan pupuk kandang. Meskipun dengan cara demikina swasembada pangan dapat terwujud, namun di sisi lain banyak dampak yang harus ditanggung oleh petani diantaranya tanah di sawah mereka tidak lagi subur karena efek dari penggunaan pupuk kimia.

3.      Peluang (opportunities)
Keberhasilan yang dilakukan Soeharto melalui berbagai pembangunan tentunya berdampak positif bagi kehidupan masyarakat. Salah satu kebijakan yang dapat dirasakan manfaatkannya adalah program swasembada pangan. Selain mendapatkan perhatian dari dalam negeri, ternyata keberhasilan Indonesia dalam keberhasilan swasembada pangan juga mendapatkan perhatian dari FAO dengan memberikan penghargaan medali emas. Keberhasilan yang dicapai ini tidak lain salah satunya karena dedikasi Soeharto.
Terwujudnya berbagai program, jelas akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara yang diperhitungkan kemampuannya di negara lain. Melalui program swasembada pangan, Indonesia bahkan mampu menyumbangkan 1.000.000 ton beras ke peduduk negara – negara di Afrika.
Kemudian jika kita melihat gaya kepemimpina Soeharto yang otoriter, jelas akan memberikan peluang untuk terwujudnya negara yang aman. Karena masyarakat yang berani bertindak kriminal akan ditindak dengan tegas oleh pemerintah. Salah satu contohnya adanya Petrus (penembak misterius) yang memburu para preman yang berbuat kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia.

4.      Ancaman (threats)
Penerapan gaya kepemimpinan yang otoriter pada saat tertentu memang dapat membawa perubahan yang positif bagi masyarakat. Namun pada saat yang berbeda dapat menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Gaya kepemimpinan otoriter yang dilakukan oleh Soeharto dapat menimbulkan ancaman. Ancaman tersebut dapat muncul dari masyarakat yang akan berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Apabila sudah demikian, maka akan menimbulkan berbagai bentuk penolakan, misalnya peristiwa 5 Mei 1998. Demo besar – besaran yang memakan korban ini tidak lain adalah bentuk penolakan masyarakat kepada presiden. Masyarakat tidak mau lagi di bawah kekuasaan Soeharto, sehingga masyarakat menginginkan agar Soeharto turun dari tahtanya. Selain mendapat ancaman dari dalam negeri, penerapan gaya kepemimpinan yang otoriter juga akan mendapat ancama dari dunia internasional. Masyarakat internasional akan menganggap bahwa pemimpin Indonesia tidak manusiawi dengan merampas hak – hak individu.
Berkaitan dengan bahasa konteks tinggi yang digunakan Soeharto, jelas akan menimbulkan ancaman. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda, dikhawatirkan apa yang dipersepsikan oleh orang lain berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh Soeharto. Karena terjadinya kesalahan penafsiran ini berpotensi pada kesalahan pengambilan tindakan oleh bawahan. Salah satu contohnya adalah kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi yang didukung oleh aparat keamanan terhadap kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi (PDI) pada 27 Juli 1996 di Jalan Diponegoro yang menimbulkan banyak korban terutama di kubu Megawati. Menurut hasil investigasi Komnas HAM, 5 orang tewas, 149 menderita luka – luka dan 23 hilang dalam insiden berdarah itu.
Setelah beberapa tahun berlalu, peristiwa 27 Juli 1996 masih diselimuti banyak misteri. Tuntutan keluarga korban, LSM dan Komnas HAM kepada pemerintah untuk mengadili para “dalangnya”. Pertanyaan paling krusial adalah siapa sesungguhnya yang merintahkan penyerangan? Banyak pihak, termasuk petinggi keamanan, menuding bahwa Panglima Kodan Jaya (ketika itu) Mayor Jenderal TNI Sutiyoso yang harus bertanggung jawab. Menurut sutiyoso peristiwa 27 Juli 1996 dimulai ketika Presiden Soeharto memanggil sejumlah pejabat teras ABRI, termasuk dirinya untuk mengatasi situasi. Presiden pada saat itu memerintahkan agar ABRI menghentikan semua kegiatan, termasuk orasi, di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro. Presiden tidak pernah memerintahkan penyerbuan. Namun istilah menghentikan semua kegiatan, termasuk orasi, dipersepsikan dengan melakukan penyerangan ke kantor PDI.
Jika di amati dari beberapa kebijakan Soeharto juga memiliki ancaman dari pihak luar. Misalnya saja kebijakan pembukaan investasi modal asing untuk membangun pabrik atau perusahaan di Indonesia. Di satu sisi memang dapat menciptakan lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi pengangguran, namun di sisi lain akan terjadi eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berlebihan.


Daftar Pustaka

Lesmana, Tjipta. 2009. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa. Pt Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2006. Biografi. http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id diakses pada 11 Juni 2013.
Rasidi, Zaim. 1998. Soeharto Menjaring Matahari. Mizan: Bandung.
Sari, Ambar Dewi. 2006. Beribu Alasan Kita Mencintai Soeharto. PT Jakarta Citra: Jakarta.
Sutedjo, Harsono. 2010. Kamus Kejahatan ORBA: Cinta Tanah Air dan Bangsa. Komunitas Bambu: Depok.
Tarmidi, Lepi T.1998. Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF Dan Saran. Universitas Indonesia: Jakarta.
Wahyudin, Khotiman dan Hariwijaya. 2008. Orang – Orang Desa yang Sukses Menjadi Pemimpim Besar Dunia. Elmatera Publishing: Yogyakarta.


0 komentar:

Posting Komentar