4.26.2013

Posted by Unknown
No comments | 2:52:00 PM

Dalam membahas tentang Kelompok, kita mengenal beberapa tradisi, salah satunya adalah Tradisi Sosiokultural, dimana dalam tradisi ini memiliki beberapa teori yang secara ringkas dan spesifik dibahas 3 teori, yaitu teori penyusunan, dimana teori ini menjelaskan proses dasar dimana kelompok menciptakan struktur. Kemudian teori Fungsional, yaitu teori yang memandang pada sebuah keragaman faktor yang mempengaruhi tugas kefektifan. Dan terakhir disimpulkan dengan teori Pemikiran kelompok, yang berfokus secara spesifik pada salah satu masalah yang paling biasa dihadapi oleh tugas kelompok.
Teoriteori fungsional  komunikasi kelompok menunjukkan proses dari sebuah instrument dimana sebuah kelompok membuat keputusan-keputusan, menegaskan hubungan antara kualitas komunikasi dan kualitas dari hasil kelompok. Komunikasi melakukan beberapa hal, atau fungsi pada beberapa cara, dalam membentuk hasil kelompok: Hal ini berarti saling berbagi informasi, itu merupakan cara anggota-anggota kelompok untuk mencari dan mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dalam berpikir, dan itu merupakan alat persuasi.
Kegiatan ini telah dipengaruhi oleh pragmatisme dari pengajaran diskusi kelompok kecil. Hal ini berdasarkan hasil karya filsuf John Dewey, yang sejak dipublikasikannya How We Think pada tahun 1910, telas mempengaruhi pemikiran pragmatis di abad 20. Walaupun metode riset yang digunakan teori fungsional untuk mempelajari fungsi – fungsi kelompok mirip dengan praktik yang dilakukan tradisi sosiopsikologi, namun Stephen Littlejohn dan Karen Foss (2008) menempatkan teori fungsional dalam kelompok sosiokultural karena teori ini memberikan perhatian pada bagaimana suatu kelompok bekerja.
Proses pemecahan masalah versi Dewey  memiliki enam langkah:
1.      Menunjukkan kesulitan
2.      Mendefinisikan masalah
3.      Menganalisa masalah
4.      Menyarankan solusi
5.      Membandingkan alternatif-alternatif solusi lain dan mengujinya melalui seperangkat tujuan atau criteria.
6.      Menerapkan solusi yang terbaik.
Teori-teori dari tradisi fungsional menunjukkan cara komunikasi mempengaruhi tiap-tiap elemen tersebut.                       
Randy Hirokawa dan temannya telah menjadi pemuncak dalam tradisi fungsional. Karya mereka melihat pada variasi kesalahan yang dibuat kelompok, bermaksud untuk mengindentifikasi hal-hal yang perlu disadari oleh kelompok agar lebih efektif. Hirokawa bersama dengan Gouran memandang bahwa proses pengambilan keputusan kelompok perlu memenuhi empat syarat tugas jika anggota ingin mencapai satu solusi berkualitas tinggi. Dengan kata lain, kelompok harus mampu melaksanakan empat fungsi untuk dapat menghasilkan keputusan yang efektif yang terdiri dari (1) analisis masalah, (2) penentuan tujuan, (3) identifikasi alternatif, dan (4) Evaluasi konsekuensi positif dan negatif.
1.      Analisis masalah
Kelompok biasanya memulai proses pengambilan keputusan dengan mengidentifikasi dan menilai suatu masalah. Mengidentifikasi dan menilai sebuah masalah dan disini Hirokawa dan koleganya bergelut dengan segelintir pertanyaan-pertanyaan, seperti: Apa yang terjadi? Mengapa bisa terjadi? Siapa yang terlibat? Dan sebagainya. Sehingga akan menuju pada suatu kesimpulan apakah keadaan tersebut memerlukan perbaikan atau tidak. Hirokawa mengingatkan bahwa suatu kesalahpengertian terhadap situasi akan berdampak besar ketika akan mengambil sebuah keputusan akhir. Kesalahan paling nyata ketika melakukan analisis masalah adalah kegagalan untuk mengenali suatu potensi ancaman ketika ancaman tersebut benar-benar ada. Ketika kelompok menyadari adanya potensi masalah, mereka kemudian juga harus mengetahu sifat, ruang lingkup, dan penyebab munculnya masalah yang tengah mereka hadapi.
2.      Penentuan tujuan
Kelompok harus mengumpulkan dan mengevaluasi informasi terkait dengan masalah yang tengah dihadapi. Ketika kelompok membahas berbagai kemungkinan solusi, informasi akan terus diterima dan terkumpul. Ketika informasi yang diterima jelas memadai, maka kelompok harus menentukan tujuan yang harus dicapai. Menurut Hirokawa dan Gouran, pembahasan mengenai tujuan yang harus dicapai harus dilakukan karena anggota kelompok harus memiliki pengertian yang jelas mengenai apa yang harus dicapai. Kelompok perlu menentukan kriteria bagaimana cara menilai keberhasilan solusi yang diajukan. Dalam hal ini Hirokawa mengatakan jika kelompok gagal untuk menentukan tujuan yang akan dicapai maka keputusan yang akan diambil kemungkinan lebih didorong oleh faktor politik (kekuasaan) daripada alasan yang masuk akal.
3.      Identifikasi alternatif
Pada tahap ini kelompok membuat berbagai usulan alternatif untuk mengatasi masalah. Hirokawa dan Gouran menekankan pentingnya memiliki sejumlah solusi alternatif ketika kelompok mengambil keputusan mengenai masalah yang tengah dihadapi.
4.      Evaluasi konsekuensi
Berbagai solusi alternatif yang tersedia kemudian dievaluasi dengan tujuan akhirnya adalah untuk mengambil keputusan. Anggota kelompok harus menguji keunggulan dari setiap pilihan yang tersedia untuk menentukan pilihan solusi yang paling memenuhi kriteria yang dinilai penting. Dalam hal ini anggota kelompok harus menginventarisir dan menganalisis semua faktor positif dan negatif dari setiap pilihan solusi yang tersedia.
Faktor-faktor yang berkontribusi dengan keputusan yang salah atau yang bisa menyebabkan kelompok memutuskan keputusan yang salah adalah seperti:
1.      Penilaian yang salah/yang tidak sesuai (Imroper Assessment) terhadap masalah. Dimana kelompok mungkin gagal untuk melihat bentuk kesalahan atau tidak akurat dalam mengidentifikasi penyebab permasalahan.
2.      Sasaran dan tujuan yang tidak tepat (Inapptopriate goals & Obejctives). Dalam hal ini, kelompok mungkin mengabaikan pentingnya sasaran yang harus dicapai atau mungkin mengerjakan hal yang tidak penting.
3.      Penilaian yang salah terhadap kualitas positif atau negatif (Improper assessment of positive and negative qualities). Dalam hal ini kelompok mengabaikan beberapa keuntungan, kerugian dan atau keduanya atau juga menaksir terlalu tinggi dari hasil positif atau negatif.
4.      Kurangnya informasi dasar atau tidak cukup atau tidak akurat (inadequate information base). Hal ini dimaksudkan bahwa bisa saja terjadi informasi valid ditolak, informasi tidak valid justru di terima. Terlalu sedikit informasi yang ditrima atau terlalu banyak informasi yang diterima, menyebabkan kelebihan beban dan kebingungan dalam memnyarin informasi-informasi tersebut.
Randy Hirokawa terlihat seperti melakukan pengembangan dari teori proses penyelesaian masalah oleh Dewey, dimana Dewey menyebutkan secara hirarkis dan terstruktur secara baku, namun Randy Hirokawa mengatakan bahwa seluruh proses tidaklah harus dilakukan mengikuti urutan-urutan baku, namun bisa dilakukan secara bersamaan ataupun yang berada diurutan sesudahnya, bisa dilakukan sebelumnya.
Hirokawa juga melakukan sebuah kajian tentang ke empat aspek menyangkut kualitas keputusan, yang hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa kualitas keputusan kelompok sangat berhubungan dengan ke empat elemen tersebut atau jelasnya, kelompok yang lebih efektif yang melakukan sesuai dengan ke empat fungsi, telah membuat keputusan yang lebih baik.
Hirokawa dan Gouran juga megajukan tiga tipe komunikasi yang berlangsung dalam pengambilan keputusan kelompok berikut ini.
1.      Promotif, yaitu tipe komunikasi yang mana anggota kelompok bergerak pada jalur jalan yang benar menuju ke arah yang benar. Dalam hal ini anggota kelompok saling mengingatkan pada tujuan yang ingin dicapai menuju kepada empat fungsi tersebut.
2.      Disruptif, yaitu tipe komunikasi dimana interaksi yang terjadi menyebabkan anggota kelompok beralih atau menyimpang, membuat lambat atau mengacaukan kemampuan anggota untuk mencapai keempat fungsi tersebut.
3.      Konteraktif, yaitu interaksi yang digunakan anggota untuk menarik kembali anggota yang menyimpang, atau tersesat dalam diskusi untuk kembali ke jalan yang benar.
Beberapa ucapan anggota kelompok cenderung disruptif, sehingga diperlukan seseorang yang mengingatkan agar anggota kelompok kembali ke jalur yang benar dalam memecahkan masalah dan mencapai tujuan.
Dalam Teori Fungsional ini yang dapat di katakan bahwa definisi beserta penjelasan-penjelasan teori kurang menyentuh kepada proses yang terjadi pada setiap individu, bahwa individu-individu yang terlibat didalam kelompok, masing-masing juga dipengaruhi oleh kelompok-kelompok lain, dimana dia tergabung didalamnya, sehingga peran individu sangatlah signifikan. Namun dalam hal ini, hanya dijelaskan bagaimana teori Fungsional itu pada proses dan cara penyelesaian masalah, tidak pada individu-individu yang terlibat dalam kelompok dan proses yang terjadi pada individu-individu tersebut dalam hal penerimaan informasi, analisa dan sebagainya.




Daftar Pustaka
Morissan. 2009. Teori Komunikasi Organisasi. Ghalia Indonesia: Bogor.                            
Stephen W., Littlejohn dan Karen A. Foss. 2008. Theories of Human Communication. Belmont: Thomson Wadsworth.

4.24.2013

Posted by Unknown
No comments | 3:10:00 PM
1.      Sejarah Perkembangan Teori Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar dan tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang tampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut kaum behavioris seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Behaviorisme amat banyak menentukan perkembangan psikologi terutama dalam eksperimen – eksperimen. Buku – buku psikologi sering kali hanya mencerminkan pendekatan ini. Walaupun Watson sering dianggap tokoh utama aliran ini, namun kita dapat melacak perkembangan behaviorisme sampai kepada empirisme dan hedonisme pada abad XVII-XVIII, bahkan sampai kepada Aristoteles.
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, bagaikan sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1932-1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kedua-duanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku manusia masa lalu.
Salah satu kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme, salah satu paham filsafat etika, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Dalam utilitarianisme, seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. “Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure,” ujar Jeremy Bentham (1879:1). Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonisme, kita menemukan apa yang disebut sebagai behaviorisme (Goldstein, 1980: 17).

2.      Asumsi Teori Behaviorisme
Sejak Thorndike dan Watson sampai sekarang, kaum Behavioris berpendirian bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat – sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengamalan; dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Asumsi ini ditambah lagi dengan sumbangan bilogi abad XIX: manusia hanyalah kelanjutan dari organisme yang lebih rendah. Kita, karena itu dapat memahami manusia dengan meneliti perilaku organisme yang bukan manusia. Misalnya, kita dapat merumuskan teori belajar dengan mengamati bagaimana tikus belajar (tidak sedikit orang yang benci menyebut behaviorisme sebagai psikologi tikus – rat psychology!). Sebuah universitas malah mulai menatar para dosen dengan behaviorisme, dan menyuruh dosen memandang mahasiswa sebagai tikus, kambing, merpati, atau paling tinggi … simpanse.
Teori ini berasumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apapun dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Watson pernah mengatakan :
Give me a dosen healthy infants, well-formed, and my own specified world to bring them up in and I’ll guarantee ti take any one at random and train him to become any type of specialist I might select-doctor, lawyer, artist merchant-chief and, yes, evem beggar-man and thief. Regardless of his talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his ancestors. (J.B. Watson, 1934:104).
(Berikan padaku selusin anak-anak sehat, tegap, dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka. Aku jamin, aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja, dan mendidiknya untuk menjadi spesialis yang aku pilih – dokter, pengacara, seniman, saudara, dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memerhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan, ras orangtuanya ).
Ucapan ini dibuktikan Watson dengan satu eksperimen bersama Rosalie Rayner di John Hopkins; tujuannya menimbulkan dan menghilangkan rasa takut. Subjek eksperimennya adalah Albert B., bayi sehat berusia 11 bulan yang tinggal dirumah perawatan anak-anak, karena ibunya menjadi perawat disitu. Albert menyayangi tikus putih. Sekarang tikus itu dibuat menjadi hal yang menakutkan bagi Albert. Ketika Albert menyentuh tikus itu, lempengan baja dipukul keras tepat dibelakang kepalanya. Albert tersentak, tersungkur menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Proses ini diulangi: kali ini Albert tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika tikus diberikan kepadanya Albert ragu-tagu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras. Akhirnya, kalau tikus itu muncul – walaupun tidak ada suara keras – Albert mulai menangis, membalik, dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja takut kepada tikus, juga kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang malang sudah menjadi patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, bila mungkin tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah perawatan, dan nasib Albert tidak diketahui (Hunt, 1982:62).
Eksperimen Albert bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimulus yang netral atau stimulus terkondisi (tikus putih) dengan stimulus tertentu yang tak terkondisikan – (Unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned response). Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimulus yang netral melahirkan response terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus dilakukan pemukulan batangan baja (unconditioned response).
Pelaziman klasik akan menjelaskan bahwa bila setiap kali anak membaca, orangtuanya mengambil buku dengan paksa, anak akan benci pada buku. Bila munculnya anda selalu berbarengan dengan datangnya malapetaka, kehadiran anda kemudian akan mendebarkan orang.
Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Kali ini subjeknya burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak (yang dapat diamati). Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya menyentuh tombol kecil pada dinding kotak.makanan keluar dan merpati bahagia. Mula-mula merpati itu tidak tahu hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan datangnya makanan. Sejenak kemudian, merpati tidak sengaja menyentuh tombol, dan makanan turun lagi. Sekarang, bila merpati ingin makan ia mendekati dinding dan menyentuh tombol. Sikap manusia seperti itu pula. Bila setiap anak menyebut kata yang sopan, segera kita memujinya anak itu kelak akan mencintai kata-kata sopan dalam komunikasinya. Bila pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus, mahasiswa meningkatkan prestasinya. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Pujian dan buku dalam contoh tadi disebut peneguh (reinforcer).
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Banyak perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme pelaziman atau peneguhan. Misalnya, mengapa anak yang berusia dua tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kaum behavioris tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan lambang atau objek yang punya makna (pelaziman klasik). Menurut Skinner, mula-mula anak mengucapkan bunyi-bunyi yang tak bermakna. Kemudian orang tua secara efektif meneguhkan ucapan yang bermakna (misalnya, “mamah”). Dengan cara ini berangsur-angsur terbentuk bahasa anak yang memungkinkannya bicara. Menurut Bandura, dengan cara seperti ini penguasaan bahasa akan terbentuk bertahun-tahun, dan cara ini tidak dapat menjelaskan mengapa anak-anak dapat mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons orang lain, misalnya meniru bunyi yang sering didengar adalah penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor yang penting dalam belajar, tetapi faktor yang penting dalam melakukan suatu tindakan (performance). Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Namun jika ia dihukum (dicela), ia akan menahan diri untuk bicara walaupun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan suatu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan.
Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme dapat menjelaskan seluruhnya. Behaviorisme bungkam ketika melihat perilaku manusia yang tidak dipengaruhi oleh ganjaran, hukuman, atau peniruan. Orang-orang yang menjelajahi kutub utara yang dingin, pemuda jepang yang menempuh samudra pasifik diatas rakit, anak-anak muda ‘syi’ah’ yang menabrakkan truk berisi muatan dinamit, semuanya mengungkapkan perilaku yang “self-motivated”. Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi “mentalistik” dari Wilhelm Wundt. Seratus tahun setelah Wundt membuka laboratorium psikologi eksperimental yang pertama, paradigma baru menyerang psikologi “behavioristik”, dan menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif.

3. Ciri dan Tokoh Teori Behaviorisme 
Ciri teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
              Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon karena teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Ada beberapa tokoh dalam teori Behaviorisme. Tokoh-tokoh aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

a.       Teori Belajar Menurut Thorndike
            Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
            Hukum Kesiapan “Law of Reatness”, seseorang akan melakukan sesuatu dan ia lakukan sehingga ia merasa puas, artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Hukum Latihan “Law of Exercise”, seseorang akan belajar melakukan latihan terlebih dahulu, artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan  semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. Hukum Akibat “Law of Effect”, hubungan stimulus dan respon akan terjadi (adanya ransangan), artinya bahwa jika sebuah respons  menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula  hubungan  yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Pendapat Thorndike tentang Prinsip – Prinsip Belajar :
1. Pada saat seseorang berhadapan dengan sebuah situasi yang termasuk baru, berbagai ragam respon yang ia lakukan. Respon – respon tersebut dapat berbeda antara satu dengan lainnya hingga akhirnya seseorang mendapatkan respon yang benar.
2. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur – unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat.
3. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama
4. Orang cenderung mengadakan assosiatif shift thing yaitu menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tentang tatkala menyadari respon yang penting.

b.      Teori Belajar Menurut Watson
            Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.           Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
c.       Teori Belajar Menurut Clark Hull
            Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

4. Analisis Tentang Teori Behaviorisme
              Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku. Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
            Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi orang, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua orang yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Asumsi pokoknya bahwa semua hasil belajar yang berupa perubahan tingkah laku yang bisa diamati, juga dianggap terlalu menyederhanakan masalah belajar yang sesungguhnya. Tidak semua hasil belajar bisa diamati dan diukur, paling tidak dalam tempo seketika. Teori ini tidak mampu menjelaskan proses belajar yang kompleks
              Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan orang untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
              Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
              Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
              Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.





Daftar Pustaka

Rakhmat Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Hariyanto. Teori Behaviorisme.  http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme. Diakses pada 20 Maret 2013.
Posted by Unknown
No comments | 3:03:00 PM


a.       Kelahiran Helen Keller
Film ini menceritakan kisah nyata tentang perjalanan hidup seorang perempuan yang bernama Helen Adams Keller. Ia lahir pada tanggal 27 Juni 1880 di Tuscumbia, sebuah kota kecil di barat laut Alabama, Amerika Serikat. Helen merupakan anak dari pasangan Kapten Arthur Henley Keller dan Kate Adam Keller. Sewaktu dilahirkan Helen memiliki penglihatan dan pendengaran yang normal. Ibu Helen, Kate Keller memiliki postur tinggi bagai patung pirang dengan mata biru. Ia 20 tahun lebih muda dari suaminya, Kapten Keller, orang Selatan yang loyal yang dengan bangga mengabdi sebagai tentara sekutu selama perang sipil. Rumah yang mereka tinggali sederhana, bercat putih, rumah papan yang dibangun pada tahun 1820 oleh buyut Helen. Saat Helen lahir, keluarganya jauh dari kekayaan, dengan Kapten Keller yang mencari nafkah sebagai pemilik perkebunan kapas dan editor mingguan sebuah Koran lokal “North Alabamian”. Sedangkan Ibu Helen bekerja di perkebunan, ia juga mendapatkan uang dari membuat mentega, lemak babi, bacon, dan ham.

b.      Helen Jatuh Sakit
Pada suatu ketika Helen jatuh sakit. Entah penyakit apa yang ia derita sehingga membuat tubuh Helen demam tinggi dan diduga Helen akan meninggal. Ketika akhirnya demamnya reda, keluarga Helen bergembira meyakini puteri mereka akan sehat kembali. Namun, ibu Helen memperhatikan bagaimana anak perempuannya gagal merespon ketika bel makan malam berbunyi atau ketika ia menggerakan tangannya di depan mata putrinya. Dengan begitu menjadi jelas bahwa penyakit Helen telah membuatnya buta sekaligus tuli. Beberapa tahun kemudian menjadi hari - hari sangat berat bagi Helen dan keluarganya. Helen menjadi anak yang sangat nakal, menghancurkan piring-piring dan lampu-lampu dan meneror seluruh anggota keluarga dengan teriakannya dan tingkahnya yang penuh amarah. Para kerabat berpendapat bahwa ia harus ditempatkan di sebuah panti.
Seiring berjalannya waktu, ketika Helen berusia 6 tahun, keluarganya menjadi putus asa. Kemudian keluarganya pergi ke dokter spesialis di Baltimore untuk meminta saran. Mereka mendapat kabar bahwa Helen tidak akan pernah melihat atau mendengar lagi tapi dokter mengatakan pada mereka agar tidak menyerah, dokter yakin Helen dapat diajari dan ia menyarankan mereka untuk mengunjungi ahli setempat yang menangani masalah anak-anak tuli. Ahli ini adalah Alexander Graham Bell, penemu telepon.
Kemudian Alexander Graham Bell menyarankan agar Keller menulis surat ke Michael Anagnos, direktur Institusi Perkins dan suaka bagi yang anak tuna rungu di Massachussets, dan memintanya untuk mencoba mencarikan seorang guru untuk Helen. Michael Anagnos mempertimbangkan kasus Helen dan segera merekomendasikan guru yang dahulu mengajar di institusi itu, wanita itu adalah Anne Sullivan.

c.       Anne Sullivan
Anne Sullivan merupakan seorang wanita yang dulu ketika ia berusia 5 tahun ia kehilangan penglihatannya. Pada Oktober 1880, sebelum Anne akhirnya pergi dan mulai memasuki pendidikannya di Institursi Perkins. Pada suatu musim panas selama waktunya di institusi, Anne mendapat 2 kali operasi pada kedua matanya, yang membuatnya mendapatkan cukup penglihatan untuk dapat membaca tulisan secara normal selama periode waktu yang singkat.
Anne lulus dari Perkins pada tahun 1886 dan mulai mencari pekerjaan. Mendapatkan pekerjaan luar biasa sukar untuk Anne, akibat dari penglihatannya yang buruk dan ketika ia mendapat tawaran dari Michael Anagnos untuk bekerja sebagai guru bagi Helen Keller, seorang yang tuli, buta dan bisu, meskipun ia tidak memiliki pengalaman di bidang ini, ia menerimanya dengan senang hati.

d.      Helen Bertemu Anne
Pada 3 Maret 1887 Anne tiba di rumah Helen di Tuscumbia dan untuk pertama kalinya bertemu dengan Helen Keller. Anne segera mulai mengajar Helen mengeja dengan jari. Mengeja kata “boneka” untuk menandai hadiah yang dia bawa untuk Helen. Kata berikutnya yang ia ajarkan pada Helen adalah “kue”. Walaupun Helen dapat mengulangi gerakan-gerakan jari ini, ia tidak dapat sepenuhnya memahami apa artinya kata – kata itu. Dan ketika Anne berjuang untuk mencoba membantunya untuk memahami, ia juga mencoba berjuang mengontrol kelakuan buruk Helen yang terus berlanjut. Anne dan Helen pindah ke sebuah pondok kecil di atas tanah yang masih menjadi bagian dari rumah utama untuk memperbaiki tingkah laku Helen, dengan perhatian khusus atas sikap Helen di meja makan. Helen biasa makan dengan tangannya yang sembarangan mencomot dari piring semua orang yang ada di meja. Anne mencoba memperbaiki sikap Helen di meja makan dan membuatnya menyisir sendiri rambutnya dan mengancingkan sepatunya untuk mengarahkannya lebih dan lebih lagi mengatasi tingkahnya yang penuh amarah. Anne menghukum tingkahnya yang penuh amarah itu dengan menolak “berbicara” dengan Helen dengan tidak mengejakan kata-kata dengan tangannya. Pada minggu – minggu selanjutnya, perilaku Helen mulai menunjukkan kemajuan dan hubungan di antara keduanya juga bertambah dekat. Lalu, setelah sebulan Anne mengajar, apa yang oleh orang-orang pada zamannya disebut sebagai “keajaiban” terjadi. Sampai saat itu Helen belum juga memahami sepenuhnya arti kata-kata. Ketika Anne menuntunnya ke pompa air pada 5 April 1887, semua itu berubah. Sewaktu Anne memompa air ke atas tangan Helen, Anne mengeja kata air ke sebelah tangan gadis itu. Sesuatu tentang hal ini menjelaskan arti kata-kata itu ke benak Helen, dan Anne segera melihat di wajahnya bahwa Helen akhirnya mengerti.
Helen lalu menceritakan kejadian itu:
“Kami berjalan menuruni jalanan menuju rumah. Seseorang menggambar air dan guruku menempatkannya di bawah tanganku sesuatu yang memancar. Sewaktu arus dingin yang memancar, di atas sebelah tanganku yang lain guruku mengeja kata air, awalnya lambat, lalu diulangi lagi. Aku masih berdiri, seluruh perhatianku terpusat pada gerakan-gerakan tangannya. Tiba-tiba aku merasa kesadaranku yang berkabut akan sesuatu yang telah terlupakan, suatu ingatan yang mendebarkan kembali, dan bagaimana misteri dari bahasa terungkap olehku.”
Helen segera meminta pada Anne nama dari pompa untuk diejakan di atas tangannya dan kemudian nama dari terali. Sepanjang jalan pulang ke rumah Helen belajar nama dari segala sesuatu yang disentuhnya dan juga menanyakan nama untuk Anne. Anne mengeja kata “Guru” ke atas tangan Helen. dalam beberapa jam berikutnya Helen belajar mengeja 30 kata-kata baru. Kemajuan Helen sejak saat itu mencengangkan. Kemampuannya untuk belajar maju pesat melampaui dari apa yang pernah dilihat orang lain sebelumnya dalam diri seseorang yang tanpa penglihatan atau pendengaran. Tak terlalu lama sebelum akhirnya Anne mengajar Helen untuk membaca, pertama-tama dengan huruf timbul, lalu dengan Braille, dan menulis dengan mesin tik biasa dan mesin tik Braille.
Posted by Unknown
No comments | 2:42:00 PM

Ketika Kusni Kasdut dihukum mati, di Jakarta muncul kelompok orang berkaus dengan tulisan “Hapus Hukuman Mati”. Mereka menyebut hukuman mati sebagai tindakan membalas dendam “yang meruntuhkan nilai – nilai kemanusiaan”, merampas hak paling dasar, dan meniadakan kemungkinan bertobat. Proses persuasi sudah dimulai. Berbagai reaksi timbul. Seorang pengacara mendukung gerakan ini dengan alasan: hukuman mati adalah pembunuhan yang dilegalisasi dan menurut hukum filsafat modern, pemidanaan tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak. Seorang tokoh Islam menentangnya. Hukuman mati, katanya dibenarkan oleh Islam bagi kejahatan mencabut nyawa sesamanya – bila keluarga korban tidak memaafkannya. Ancaman hukuman yang keras tak lain demi terpeliharanya ketertiban masyarakat. seorang rohaniawan Katolik lain lagi komentarnya, “Gereja Katolik menentang hukuman mati. Tidak sesuai dengan martabat manusia dan semangat Injil”. Akan tetapi, apa kata tukang becak? “itu bukan urusan saya, lebih penting urusan perut.” (Tempo, 16 Februari 1980).
Peristiwa di atas mengungkapkan bagaimana stimulus yang dalam hal ini, pesan komunikasi “Hapuskan Hukuman mati” – telah melahirkan tanggapan yang beraneka ragam. Walaupun peristiwanya sama, orang akan menanggapinya berbeda – beda, sesuai dengan keadaan dirinya. Secara psikologis kita dapat mengatakan bahwa setiap orang mempersepsi stimuli sesuai dengan karakteristik personalnya. Dalam pembahasan mengenai sistem komunikasi intrapersonal akan diuraikan bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkannya kembali. Proses pengolahan informasi, yang di sini kita sebut komunikasi intrapersonal, meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir.

1.      Sensasi
Tahap paling awal dalam penerimaan informasi ialah sensasi. Sensasi berasal dari kata “sense”, artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. “Bila alat – alat indera mengubah informasi menjadi impuls – impuls saraf – dengan bahasa yang dipahami otak, maka terjadilah proses sensasi” kata Denis Coon (1977: 79). Menurut Benyamin B. Wolman (1973: 3443) sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra.
Apapun definisi sensai, fungsi alat indra dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting. Melalui alat indra, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya. Lebih dari itu, melalui alat inderalah manusia memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunianya. Tanpa alat indra manusia sama, bahkan mungkin lebih dari rumput – rumputan, karena rumput dapat juga mengindra cahaya dan humiditas (Lefrancois: 1974: 39).
Kita mengenal lima alat indera atau pancaindera. Psikologi menyebut sembilan (bahkan ada yang menyebut sebelas) alat indera: penglihatan, kinestesis, vestibular, perabaan, temperatur, rasa sakit, perasa dan penciuman. Kita dapat mengelompokkannya pada tiga macam indra penerima, sesuai dengan sumber informasi. Sumber informasi boleh berasal dari dunia luar (eksternal) atau dari dalam diri individu sendiri (internal). Informasi dari luar diindra oleh eksteroseptor. Informasi dari dalam diindra oleh interoseptor. Selain itu, gerakan tubuh kita sendiri diindra oleh proprioseptor (misalnya organ vestibular).
Apa saja yang menyentuh alat indra –dari dalam dan dari luar – disebut stimuli. Saat ini Anda sedang membaca tulisan ini (stimuli eksternal), padahal pikiran Anda sedang diganggu oleh perjanjian utang yang habis waktu hari ini (stimuli internal). Anda serentak menerima dua macam stimulus. Alat penerima Anda segera mengubah stimulus ini menjadi energi saraf untuk disampaikan ke otak melalui proses transduksi. Agar dapat diterima pada alat indra Anda, stimuli harus cukup kuat. Batas minimal intensitas stimuli disebut ambang mutlak (absolute threshold). Ketajaman sensasi juga ditentukan oleh faktor-faktor personal. Perbedaan dapat disebabakan oleh perbedaan pengalaman atau lingkungan budaya, di samping kapasitas alat indra yang berbeda. Sebagaimana kacamata menunjukkan berbagai ukuran, seperti itu pula alat indera yang lain. Perbedaan kapasitas alat indera menyebabkan perbedaan dalam memilih pekerjaan atau jodoh, mendengarkan musik, atau memutar radio. Yang jelas sekali, sensasi memengaruhi persepsi. Lalu, apa yang disebut persepsi?

2.       Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi. Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desiderato, 1976:129). Persepsi seperti juga sensasi, ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. David Krech dan S. Crtuchfield menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi persepsi:

a.       Perhatian (Attention)
Perhatian adalah proses mental stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah, menurut Kenneth E. Andersen. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indra kita, dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indra yang lain.
Faktor Eksternal Penarik Perhatian
Apa yang kita perhatikan ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain:
1.      Gerakan. Seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak.
2.      Intensitas Stimuli. Kita akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain.
3.      Kebaruan (Novelty). Hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda, akan menarik perhatian.
4.      Perulangan. Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian.
Faktor Internal Penaruh Perhatian
Beberapa contoh ontoh faktor yang mempengaruhi perhatian kita yaitu:
1.      Faktor- faktor Biologis. Misalnya dalam keadaan lapar semua pusat perhatiannya adalah makanan.
2.      Faktor-faktor Sosiopsikologis. Seperti motif sosiogenesis, sikap, kebiasaan, dan kemauan, mempengaruhi apa yang kita perhatikan.
Kenneth E. Anderson menyimpulkan dalil-dalil tentang perhatian selektif yang harus diperhatikan oleh ahli-ahli komunikasi.
1.      Perhatian itu merupakan proses yang aktif dan dinamis, bukan pasif dan refleksif.
2.      Kita cenderung memperhatikan hal-hal tertentu yang penting, menonjol, atau melibatkan diri kita.
3.      Kita menaruh perhatian kepada hal-hal tertentu sesuai dengan kepercayaan, sikap, nilai, kebiasaan, dan kepentingan kita.
4.      Kebiasaan sangat penting dalam menentukan apa yang menarik perhatian.
5.      Dalam situasi tertentu kita secara sengaja menstrukturkan perilaku kita untuk menghindari terapan stimuli tertentu yang ingin kita abaikan.
6.      Konsentrasi yang sangat kuat mendistorsi persepsi kita.
7.      Perhatian tergantung pada kesiapan mental kita.
8.      Tenaga-tenaga motivasional sanngat penting dalam menentukan perhatian dan persepsi.
9.      Intensitas perhatian tidak konstan.
10.  Dalam hal stimuli yang menerima perhatian, perhatian juga tidak konstan.
11.  Usaha untuk mencurahkan perhatian sering tidak menguntungkan.
12.  Kita mampu menaruh perhatian pada berbagai stimuli sacara serentak.
13.  Perubahan atau variasi sangat penting dalam menarik dan memeperhatikan perhatian.

b.      Faktor-Faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karekteristik orang yang memberikan respons pada stimuli itu. Krech dan Crutchfield merumuskan dalil Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.
Kerangka Rujukan (Frame of Reference)
Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan. Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya. Menurut McDavid dan Harari, para psikolog menganggap konsep kerangka rujukan ini amat berguna untuk menganalisis interpretasi perseptual dari peristiwa yang dialami.

c.       Faktor-Faktor Struktural yang Menentukan Persepsi
Krech dan Crutchfield merumuskan dalilnya lagi yang kedua, yaitu Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi. Dalil ketiga dari Krech dan Crutchfield adalah Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Karena manusia selalu memandang stimuli dalam konteksnya, dalam strukturnya, maka ia pun akan mencoba mencari struktur pada rangkaian stimuli. Struktur ini diperoleh dengan jalan mengelompokkan berdasarkan kedekatan atau persamaan. Prinsip kedekatan menyatakan bahwa stimuli yang berdekatan satu sama lain akan dianggap satu kelompok. Dalil keempat dari Krech dan Crutchfield adalah Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya betul-betul bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik, seperti titik, garis, atau balok. Pada persepsi sosial, pengelompokkan tidak murni struktural; sebab apa yang dianggap sama atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu yang lain. Kebudayaan juga berperan dalam melihat kesamaan. Pengelompokkan kultural erat kaitannya dengan label; dan yang kita beri label yang sama cenderung dipersepsi sama. Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipakai oleh komunikator untuk meningkatkan kredibilitasnya. Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimuli ditanggapi sebagai bagian dari stuktur yang sama. Sering terjadi hal-hal yang berdekatan juga dianggap berkaitan atau mempunyai hubungan sebab dan akibat.

3.      Memori
Dalam komunikasi intrapersonal, memori memgang peranan yang sangat penting dalam memengaruhi baik persepsi (dengan menyediakan kerangka rujukan) maupun berpikir. Mempelajari memori membawa kita pada psikologi kognitif, terutama sekali, pada model manusia sebagai pengolah informasi. Robert T. Craig (1979) bahkan meminta ahli komunikasi agar mendalami psikologi kognitif dalam upaya menemukan cara – cara baru dalam menganalisis pesan dan mengolah pesan.
Lalu, apakah memori itu? Menurut Schlessinger dan Groves (1976: 352) memori adalah sistem yang sangat berstruktur, yang menyebabkan organisme sanggup merekam fakta tentang dunia dan menggunakan pengetahuannya untuk membimbing perilakunya. Secara singkat, memori melewati tiga proses yaitu perekaman, penyimpanan, dan pemanggilan. Perekaman (encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor indera dan sirkit saraf internal. Penyimpana (storage), proses yang kedua, adalah menentukan berapa lama informasi itu berada beserta kita, dalam bentuk apa dan dimana. Penyimpanan bisa aktif atau pasif. Kita menyimpan secara aktif, bila kita menambahkan informasi tambahan. Kita mengisi informasi yang tidak lengkap dengan kesimpulan kita sendiri (inilah yang menyebabkan desas – desus menyebar lebih banyak dari volume asal). Mungkin secara pasif terjadi tanpa penambahan. Pemanggilan (retrieval), dalam bahasa sehari – hari, mengingat lagi, adalah menggunakan informasi yang disimpan (Mussen dan Rosenzweig, 1973: 449).

3.1  Jenis – jenis memori
Kita tidak menyadari pekerjaan memori pada dua tahap yang pertama. Kita hanya mengetahui memori pada tahap ketiga: pemanggilan kembali. Pemanggilan diketahui dengan empat cara:
1.      Pengingatan (Recall). Pengingatan adalah proses aktif untuk menghasilkan kembali fakta dan informasi secara verbatim (kata demi kata), tanpa petunjuk yang jelas
2.      Pengenalan (Recognition). Agak sukar untuk mengingat kembali sejumlah fakta; lebih mudah mengenalnya kembali.
3.      Belajar Lagi (Learning) adalah menguasai kembali pelajaran yang sudah pernah kita peroleh termasuk pekerjaan memori.
4.      Redintegrasi (Redintegration) adalah merekonstruksi seluruh masa lalu dari satu petunjuk memori kecil.

3.2  Mekanisme memori
Sudah lama orang ingin mengetahui bagaimana cara kerja memori. Secara praktis, orang ingin mencari cara – cara untuk mengefektifkan pekerjaan memori. Bukankah bila memori kita handal, kita dapat menggunakannya sebagai arsip yang murah, praktis, efisien, dan portabel (mudah dibawa)? Namun, memori kita sering tidak berfungsi; kita sering lupa.. Untuk mengetahui pekerjaan memori, kita harus menjawab mengapa orang lupa. Jawabannya menjelaskan mengapa orang ingat. Ada tiga teori yang menjelaskan memori yaitu teori aus, teori interferensi, dan teori pengolahan informasi.
1.      Teori Aus (Disuse Theory).
Menurut teori ini, memori hilang atau memudar karena waktu. Sperti otot memori kita akan kuat, bila diatih terus-menerus. Sejak zaman Yunani sampai sekarang, masih banyak orang yang beranggapan bahwa tugas guru adalah melatih ingatan muridnya. Selama sekolah, orang hanya belajar mengingat. William James, juga Benton J. Underwood membuktikan eksperimen, bahwa “the more memorizing one does, the poorer one’s ability to memorize” – makin sering mengingat makin jelek kemampuan mengingat (Hunt, 1982: 94). Lagi pula, tidak selalu waktu yang mengauskan memori. Sering terjadi, kita masih ingat peristiwa puluhan tahun yang lalu, tetapi lupa kejadian seminggu yang lalu.
2.      Teori Interferensi (Interference Theory).
     Menurut teori ini, memori merupakan meja lilin atau kanvas. Pengalaman adalah lukisan pada meja lilin atau kanvas itu. Interferensi adalah menyebabkan terhapusnya rekaman yang pertama atau mengaburkannya. Terjadinya pengurangan memori disebut inhibisi retroaktif (hambatan ke belakang). Lebih sering mengingat, lebih jelek daya ingat kita, ini disebut inhibisi proaktif ( hambatan ke depan). Masih ada satu hambatan lagi – walaupun tidak tepat masuk teori interfernsi. Ini disebut hambatan motivasional. Amnesia adalah lupa sebagian atau seluruh memori bisa terjadi karena gangguan fisik atau psikologi; karena kerusakan otak atau neurosis.
3.      Teori Pengolahan Informasi (Information Processing Theory).
     Teori ini menyatakan bahwa informasi mula-mula disimpan pada sensory storage, kemuadian masuk short-term memory (STM); lalu dilupakan atau dikoding untuk dimasukkan ke dalam long-term memory (LTM). Sensory storage lebih merupakan perseptual dari pada memoeri. Ada dua macam memori: memori ikonis untuk materi yang kita peroleh secara visual, dan memori ekosis untuk materi yang masuk secara auditif.
     Untuk mengingatkan kemampuan short-term memory kelompoknya disebut chunk. Bila informasi ini berhasil dipertahankan pada STM, ia akan masuk LTM. Inilah yang umumnya kita kenal sebagai ingatan. LTM meliputi periode penyimpanan informasi sejak semenit sampai seumur hidup. Seperti disebut di atas, kita dapat memasukkan informasi dari STM ke LTM dengan chunking, rehearsals (mengaktifkan STM untuk waktu yang lama dengan mengulang-ngulangnya), clustering (mengelompokkan dalam konsep-konsep), method of loci (memvisualisasikan dalam benak kita materi yang harus kita ingat).

4.      Berpikir
4.1  Apakah Berpikir Itu?
Proses keempat yang memengaruhi penafsiran kita terhadap stimulus adalah berpikir. Dalam berpikir kita melibatkan semua proses yang kita sebut di muka: sensai, persepsi, dan memori. Menurut Floyd L. Ruch dalam bukunya yang klasik, Psychology and Life (1976) mengatakan bahwa berpikir adalah manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambang-lambang sehinga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak. Sedangkan menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenweig “The term ‘thingking’ refers to many kind of activities that involve the manipulation of concepts and symbols, representations of objects adn events” (1973:410). Jadi, berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti obyek dan peristiwa. Jelas berpikir melibatkan penggunaan lambang, visual, atau grafis. Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan, dan menghasilkan yang baru.

4.2.Bagaimana Orang Berpikir?
Secara garis besar ada dua macam berpikir, yang pertama berpikir autisik yaitu melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantasis, seperti melamun, fantasi, menghayal, wishful thingking. Yang kedua berpikir realistik ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Menurut Floyd L. Ruch menyebut tiga macam berpikir realistik, yaitu deduktif, induktif, evaluatif. Berpikir deduktif adalah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan; yang pertama merupakan pernyataan umum disebut silogisme. Berpikir induktif sebaliknya, dimulai dari hal-hal khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi. Berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan.

4.3.Menetapkan Keputusan
Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan. Sepanjang hidup kita harus menetapkan keputusan. Sebagian dari keputusan itu ada yang menentukan hidup kita dan keputusan yang kita ambil sangat beragam. Akan tetapi, ada tanda-tanda umum pengambilan keputusan: (1) keputusan merupakan hasil berpikir, hasil usaha intelektual; (2) keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif; (3) keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan. Faktor personal amat menentukan apa yang diputuskan, antara lain: (1) kognisi artinya kulitas dan kuantitas yang dimiliki; (2) motif, sangat mempengaruhi pengambilan keputusan; (3) sikap juga faktor penentu lainnya.

4.4.Memecahkan Persoalan
Proses memecahkan persoalan berlangsung melalui lima tahap:
1.      Terjadi peristiwa ketika perilaku yang biasa dihambat karena sebab-sebab tertentu.
2.      Anda mencoba menggali memori Anda unuk mengetahui cara-cara apa saja yang efektif pada masa yang lalu.
3.      Pada tahap ini Anda mencoba seluruh kemungkinan pemecahan yang pernah Anda ingat atau yang dapat Anda pikirkan. Semua Anda coba, ini disebut penyelesain mekanis
4.      Anda mulai menggunakan lambang-lambang verbal atau grafis untuk mengatasi masalah.
5.      Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Anda suatu pemecahan. Kilasan pemecahan masalah ini disebut Aha Erlebnis atau insight solution.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pemecahan Masalah
 Beberapa penelitian membuktikan faktor – faktor biologis dan sosiopsikologis berpengaruh terhadap proses pemecahan masalah. Faktor biologis misalnya seseorang yang kurang tidur mengalami penurunan kemampuan berpikir; begitu pula bila ia lelah. Sedangkan faktor – faktor sosiopsikologis yang berpengaruh terhadap proses pemecahan masalah diantaranya:
1.      Motivasi. Motivasi yag rendah mengalahkan perhatian. Motivasi yang tinggi membatasi fleksibilitas.
2.      Kepercayaan dan sikap yang salah. Asumsi yang salah dapat menyesatkan kita.
3.      Kebiasaan. Kecenderungan untuk mempertahankan pola berpikir tertentu, atau melihat masalah hanya dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas, menghambat pemecahan masalah yang efisien.
4.      Emosi. Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat secara emosional. Emosi mewarnai cara berpikir kita.

4.5.Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kreativitas melibatkan respons atau gagasan yang baru, atau yang secara statistik sangat jarang terjadi. Tetapi kebaruan saja tidak cukup. Syarat kedua kreativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis. Ketiga kreativitas merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin. Guilford membedakan antara berpikir kreatif dan tak kreatif dengan konsep berpikir konvergen dan divergen. Berpikir konvergen erat kaitannya dengan kecerdasan; divergen, dengan kreativitas. Berpikir divergen dapat juga diukur dengan fluency, flexibility, dan originality. George Lakoff dan Mark Johnson menjelaskan bagaimana pemikiran kreatif ini berhasil memperluas cakrawala pemiiran. Berpikir kreatif adalah berpikir analogis-metaforis.
Proses Berpikir Kreatif
Para psikolog menyebutkan lima tahap berpikir kreatif yaitu:
1.      Orientasi: masalah dirumuskan, dan aspek-aspek masalah diidentifikasikan.
2.      Preparasi: pikiran berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah.
3.      Inkubasi: pikiran beristirahat sebentar, ketika berbagai pemecahan berhadapan dengan jalan buntu. Pada tahap ini, proses pemecahan masalah berjalan terus dalam jiwa bawah sadar kita.
4.      Iluminasi: masa inkubasi berakhir ketika pemikir memperoleh semacam ilham, serangkaian insight yang memecahkan masalah. Ini menimbulkan Aha Erlebnis.
5.      Verifikasi: tahap terakhir untuk menguji dan secara kritis menilai pemecahan masalah yang diajukan pada tahap keempat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif tumbuh subur bila ditunjang oleh faktor personal dan situasional. Ada beberapa faktor yang secara umum menandai orang-orang kreatif:
1.      Kemampuan kognitif: termasuk di sini kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru yang berlainan, dan fleksibilitas kognitif.
2.      Sikap yang terbuka: orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima stimuli internal dan eksternal; ia memiliki minat yang beragam dan luas.
3.      Sikap yang bebas, otonom, dan percaya pada diri sendiri. Orang kreatif tidak suka ‘digiring’; ingin menyampaikan dirinya semau dan semampunya; ia tidak terikat pada konvensi-konvensi sosial.
Selain faktor-faktor lingkungan psikososial, beberapa peneliti menunjukkan juga adanya faktor-faktor situasional lainnya. Maltzman (1960) menunjukkan faktor peneguhan dari lingkungan; Dutton (1970) menyebut, antara lain, tersedianya hal-hal istimewa bagi manusia kreatif; dan Silvano Arieti menekankan faktor isolasi dalam menumbuhkan kreativitas.




Daftar Pustaka
Rakhmat, Djalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.