A.
Biografi
Presiden Soeharto
Soeharto adalah salah seorang anak
desa yang bernasib baik. Berawal dari seorang anak desa yang miskin, Soeharto
mulai merintis kariernya. Dengan semangat juang ingin merubah nasib hidupnya,
ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Menerima uluran tangan orang
untuk terus bisa merubah hidupnya. Akhirnya, di tengah keputusasaannya ia
mendapat sebuah kesempatan yang tak terduga. Berawal dari kesempatan itu,
muncullah kesempatan – kesempatan lainnya yang membawanya menuju puncak
kekuasaan di Indonesia. Selama 32 tahun ia menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia dan berperan banyak dalam sejarah Indonesia.
Haji Muhammad Soeharto, atau lebih
akrab dipanggil Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, pada tanggal
8 Juni 1921. Ia adalah anak dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Ketika
Kertosudiro menikah dengan Sukirah, ia adalah seorang duda yang memiliki dua
anak dari istri pertamanya. Kertosudiro adalah seorang ulu – ulu (petugas desa pengatur air). Hubungan pernikahan mereka
tidak berlangsung lama. Setelah Soeharto dilahirkan, keduanya bercerai.
Beberapa tahun kemudian, Sukiran menikah dengan Atmopawiro dan mempunyai 7
anak. Sedangkan Kertosudiro juga menikah lagi dan mempunyai 4 anak dari hasil
pernikahannya ini. Keluarga Soeharto adalah keluarga petani yang miskin. Setelah
dilahirkan, Sukirah sakit dan tidak mampu menyusui Soeharto. Kemudian Soeharto
pun dititipkan di rumah kakek dan neneknya. Pada umur empat tahun, ia kembali
diambil oleh ibu dan ayah tirinya.
Masa sekolah dasar dilaluinya di
beberapa sekolah. Pada awalnya, Soeharto sekolah di Sekolah Dasar Puluhan, di
daerah Godean. Namun karena ibu dan ayah tirinya pindah ke daerah Kemusuk
Kidul, ia pun pindah ke sekolah di Pedes. Namun kemudian oleh ayahnya,
Kertosudiro, dititipkan pada adik perempuan satu – satunya di daerah
Wuryantoro, Wonogiri. Di sana Soeharto mendapat pendidikan yang lebih baik. Di
sekolah, Soeharto termasuk anak yang cerdas, terutama dalam bidang matematika.
Namun baru satu tahun Soeharto
tinggal bersama bibinya, ia dijemput oleh ayah tirinya. Soeharto dibawa pulang
karena ibunya sakit dan merindukannya. Ayah tirinya berjanji akan
mengembalikannya setelah sekolah dimulai kembali. Namun ternyata janji tersebut
tidak dipenuhi. Akhirnya Soeharto pindah sekolah ke sekolah desa di Tiwir.
Setahun kemudian, Soeharto kembali dijemput oleh paman dan bibinya, dan kembali
sekolah di daerah Wuryantoro. Selain mendapatkan pendidikan sekolah dasar,
Soeharto juga mendapatkan pendidikan agama di Langgar (tempat mengaji).
Setelah empat tahun menjalani
pendidikan di sekolah dasar, Soeharto kemudian melanjutkan pendidikannya ke
sekolah lanjutan rendah (schakel school)
di Wonogiri. Pada awalnya Soeharto tinggal bersama anak paman dan bibinya.
Namun karena keluarga yang ditumpanginya tersebut mengalami masalah keluarga,
Soeharto harus pindah dan tinggal bersama keluarga teman ayahnya yang bernama
Hardjowijono. Keluarga Hardjowijono tidak memiliki anak. Di sana Soeharto
membantu keluarga tersebut seperti membersihkan rumah sebelum pergi ke sekolah,
belanja ke pasar dan menjual hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo.
Soeharto menyelesaikan pendidikannya
di sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia berhasil menamatkan sekolahnya pada
tahun 1939. Walaupun ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, namun keluarga
Soeharto tidak mampu membiayai sekolahnya lagi. Alhasil, Soeharto harus mencari
pekerjaan daripada menjadi pengangguran. Akhirnya Soeharto mendapat pekerjaan
sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-bank). Namun pekerjaannya sebagai pembantu klerek pada sebuah
Bank Desa tidak bertahan lama. Soeharto berencana melamar pekerjaan di Solo
tetapi di sana pun ia tidak mendapatkan pekerjaan.
Di tengah – tengah keputusasaannya
itu, tiba – tiba datang kesempatan untuk melamar masuk KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger –
Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Soeharto mendapat panggilan atas lamarannya
dan ia pun diterima setelah lulus menjalani ujian. Soeharto masuk ke ikatan
dinas pendek (Kort-verband). Ikatan
dinas ini masa latihannya diadakan di daerah Gombong selama tiga tahun. Yang
masuk dinas ini umumnya lulusan HIS (Holands
Inlandse School atau SD di zaman Belanda) ke atas. Mereka yang mendapat
latihan di Gombong bisa mendapat kesempatan untuk terus mengikuti Kader School dan menjadi kopral yang
kemudian bisa praktik di batalyon. Setelah menjadi kopral selama 5 tahun,
barulah bisa mengikuti ujian untuk menjadi sersan.
Dalam ikatan dinas pendek itu,
Soeharto berhasil menjadi lulusan terbaik. Ia kemudian praktik di Batalyon XIII
di Tempel dekat Malang, dan menjabat sebagai wakil komandan regu. Karena Perang
Dunia ke-2 sedang terjadi, Soeharto segera dikirim ke Bandung begitu ia
mendapatkan pangkat sersan. Di Bandung, tepatnya di Cisarua, ia dijadikan
cadangan pada Markas Besar Angkatan Darat. Ia hanya berada di sana selama satu
minggu. Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah dan Jepang berkuasa di
Indonesia. Karena takut diringkus oleh Jepang, Soeharto dan temannya melarikan
diri ke daerah Wuryantoro.
Namun sayang setibanya di
Wuryantoro, Soeharto menderita malaria. Ia menderita malaria kurang lebih
selama enam bulan. Sementara Soeharto terbaring lemah di tempat tidur, Jepang
membentuk lembaga – lembaga keamanan diantaranya yaitu Keibodan, Seinendan, dan Fujin Kai. Karena merasa bosan tidak ada
kegiatan, Soeharto akhirnya memutuskan untuk mencari pekerjaan di Yogyakarta.
Ia belajar kursus mengetik di daerah Patuk, di depan asrama polisi. Suatu hari,
Soeharto membaca pengumuman yang menyebutkan bahwa Keibuho (Polisi) menerima anggota baru. Ia kemudian mendaftar dan berhasil
lulus menjadi nomor satu. Ia pun kemudian di perintahkan untuk belajar bahasa
Jepang dan mendaftarkan diri masuk ke PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah
Air).
Sama seperti ketika masuk ke Keibuho, Soeharto tidak menyebutkan
dirinya bekas KNIL ketika masuk PETA. Hal itu dilakukannya agar ia tidak
tertangkap oleh Jepang. Soeharto berhasil lulus untuk dilatih sebagai Schodancho (komandan peleton). Latihan
tersebut dijalaninya selama empat bulan. Setelah lulus dilatih sebagai Shodancho, Soeharto kemudian dipilih
untuk melatih Chudancho di Bogor yang
diselesaikannya pada tahun 1944. Selesai dilatih menjadi Chudancho, Soeharto kemudian ditempatkan di Seribu, markas besar
PETA di Solo. Sebagai Chudancho di
Markas Besar PETA Soeharto memegang bagian pendidikan.
Pada
tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai
Mangkunegaran. Perkawinan Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26
Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun.
Mereka dikaruniai enam putra dan putri yaitu Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit
Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra,
dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Nama Soeharto kemudian semakin
dikenal dengan serangan tiba – tibanya untuk menguasai Yogyakarta pada tanggal
1 Maret 1949 yang dilakukannya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini
cenderung ditafsirkan sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan
Belanda. Kemudian pada tahun 1950, Soeharto bekerja sebagai pejabat militer di
Divisi Dipenogoro Jawa Tengah. Pada tahun 1959, Soeharto terlibat dalam kasus
penyelundupan dan hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani.
Namun atas saran Jenderal Gatot Subroto pada saat itu, Soeharto dibebaskan dan
dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung,
Jawa Barat.
Pada tahun 1961, Soeharto berhasil
mencapai pangkat Brigadir Jenderal dan memimpin Komando Mandala yang bertugas
merebut Irian Barat. Sekembalinya dari sana, Soeharto mendapat kenaikan pangkat
menjadi mayor jenderal dan ditarik ke Markas Besar ABRI oleh Jenderal A.H.
Nasution. Pada pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat menjadi Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Pada tahun 1965, ABRI khusunya
Angkatan Darat mengalami konflik internal sehingga pecah menjadi dua fraksi
(sayap kiri dan sayap kanan). Konflik ini terutama akibat politik Nasakom yang
dilancarkan Soekarno pada saat itu. Soeharto berada di sayap kanan. Dari
operasi militer ini Soeharto berkenalan dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali
Murtopo, dan Kapten Benny Murdani. Orang – orang ini yang kemudian tercatat
sebagai orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahan Soeharto.
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober
1965 beberapa pasukan pengawal kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan
Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain, menculik dan membunuh enam orang
jenderal. Pada peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai
Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil
lolos. Hanya Mayor Jenderal Soeharto yang terselamatkan dan tidak menjadi
target percobaan tersebut meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini
terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa
sumber mengatakan, pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa
mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang
direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada
"Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh
Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah
pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad
Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila
Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang
menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah
yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden
Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil
segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Langkah
yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)
sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang
diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat
internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata
Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada
Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya
Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno
dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif.
Ketika
pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak MPRS pada tahun 1967, Soeharto kemudian
diangkat menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Soeharto mendirikan suatu
era apa yang disebut Orde Baru.
Selama 32 tahun memimpin banyak sekali kinerja dan problematika yang
dihadapinya. Berikut akan diuraikan lebih mendalam tentang bagaimana kinerja
dan problematika masa kepemimpinan Soeharto (1966 – 1998) beserta analisis gaya
kepemimpinan dan model komunikasi Presiden Soeharto menggunakan pendekatan SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities,
dan Threats).
B.
Kinerja
dan Problematika di Era Kepemimpinan Presiden Soeharto (1966 – 1998)
Memimpin
negara selama lebih dari tiga dekade bukanlah waktu yang singkat bagi seorang
presiden. Selama kurun waktu tersebut tentu banyak hal yang telah dilakukanya.
Sebagai presiden yang pernah menjabat selama 32 tahun, Presiden Soeharto telah
menetapkan dan melalukan berbagai kebijakan dalam berbagai aspek baik ekonomi,
sosial, budaya maupun hankam. Kebijakan – kebijakan tersebut tentunya tidak
semua terealisasi dengan baik. Ada sebagian kebijakan yang terwujud sesuai
dengan harapan dan mendatangkan kesejahteraan, namun ada juga yang tidak bahkan
menimbulkan kontroversi dari masyarakat. Berikut akan diuraikan kinerja yang
telah dilakukan Presiden Soeharto beserta problematika yang dihadapi selama
kepemimpinannya.
B.1. Kinerja dan Keberhasilan
Presiden Soeharto
a. Melaksanakan
Program Transmigrasi
Salah satu kebijakan strategis yang
diterapkan oleh Soeharto adalah dengan melaksanakan program transmigrasi, yakni
program yang berupaya dalam pemerataan dan penyebaran penduduk di dalam negeri.
Disamping membuka lapangan pekerjaan, program transmigrasi juga ditujukan untuk
membuka dan mengembangkan daerah produksi baru di luar Jawa dan Bali, terutama
membuka daerah pertanian yang baru. Program transmigrasi adalah program
multisektoral, meliputi aspek kependudukan (demigrafis), perpindahan penduduk,
pendidikan, kesehatan, pemilikan lahan, hankam, pekerjaan umum, pembangunan
daerah dan lain – lain.
Begitu pentingnya keberhasilan
program transmigrasi ini, sehingga Soeharto dengan Keppres 26/1978 menetapkan Badan
Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi yang melibatkan beberapa departemen dan
lembaga – lembaga negara. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah sangat
mendorong terselenggaranya transmigrasi, baik transmigrasi umum (yang
diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah) ataupun transmigrasi spontan
(transmigrasi swakarsa yaitu mereka yang mebiayainya sendiri).
Harus diakui bahwa di sisi lain
program transmigrasi ini sesungguhnya adalah menjadikan NKRI sebagai suatu
wilayah bersama dari semua warga negara Indonesia. Setiap warga negara berhak
tinggal di seluruh wilayah NKRI tanpa diskriminasi karena pada hakikatnya kita
sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dibatasi oleh sekat – sekat kedaerahan
atau primordialism.
b. Program
Keluarga Berencana
Hubungan pertambahan penduduk
dengan tingkat kemakmuran yang hendak dicapai sangat erat kaitannya. Maka
dengan kebijakan kependudukan yang tepat dan terencana adalah salah satu kunci
keberhasilan dari pembangunan nasional. Menurut Soeharto, kenaikan produksi
pangan yang besar tentu tidak akan banyak artinya jika pertambahan jumlah
penduduk tidak terkendali. Karena itu pelaksanaan program keluarga berencana
sangat penting artinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian pada saat Soeharto menjadi presiden, program Keluarga Berencana (KB)
merupakan bagian intergral dari pembangunan nasional.
Program KB dikoordinasikan oleh
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang dibentuk tahun 1970.
Program ini semula memang ditentang secara luas, namun kemudian mendapat
dukungan dari pemuka agama dan masyarakat Indonesia sendiri. Malahan KB bukan
lagi sebuah program yang dipaksakan pemerintah, tetapi menjadi popular di
kalangan keluarga dan dilaksanakan atas kesadaran sendiri. Dalam mencapai
strategi program kependudukan, ketika itu BKKBN menerapkan beberapa kebijakan,
yakni:
1.
pengendalian kelahiran.
2.
penurunan tingkat kematian, terutama kematian ibu dan anak.
3. perpanjangan harapan hidup.
Untuk kelancaran program KB tingkat
nasional, pada tahun anggaran 1970/1971 pemerintah mulai memberikan bantuan
sebesar 1,3 juta dolar AS dari para donatur asing. Bantuan pun terus meningkat
dari tahun ke tahun, menjadi 34,3 juta dolar AS tahun 1977/1978.
Strategi yang diterapkan dalam
Program Kependudukan dan Keluarga Berencana adalah tercapainya jumlah penduduk
yang serasi dengan laju pembangunan. Peserta KB secara kumulatif meningkat dari
sekitar 1,7 juta orang pada akhir Repelita I menjadi sekitar 21,5 juta orang
pada akhir Repelita V, atau naik 12,6 kali lipat. Program KB telah berhasi
menekan laju pertambahan penduduk secara nyata serta meningkatkan kesejahteraan
penduduk Indonesia.
Prestasi yang dicapai dalam program
KB ini mengundang rasa kagum UNICEF. Lembaga PBB yang menangani masalah anak
dan pendidikan ini seperti dinyatakan direktur eksekutifnya, James P. Grant,
memuji Indonesia karena berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah
melakukan berbagai upaya lainnya untuk menyejahterakan kehidupan anak – anak
Indonesia. Data yang ada menyebutkan, pada Pelita III tingkat kematian bayi di
Indonesia masih mencapai 100/1000 kelahiran. Namun kemudian menurun menjadi
70/1000 kelahiran pada Pelita IV dan pada tahun 1990-an bisa ditekan menjadi
50/1000 kelahiran.
Perhatian Soeharto terhadap
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dilakukan secara terus menerus. Ia
bahkan langsung turun ke lapangan. Soeharto dan Ibu Tien (Alm) bahkan
meminumkan sendiri cairan vaksin polio kepada bayi dan anak – anak balita untuk
melaksanakan program imunisasi polio di seluruh tanah air, sehingga Indonesia
bisa bebas dari polio kala itu.
Dengan adanya program KB ini, Soeharto
telah berhasil mengubah persepsi “banyak anak banyak rezeki” menjadi “keluarga
kecil bahagia”. Pandangan hidup ini kemudian mendarah daging pada mayoritas
masyarakat Indonesia.
Atas keberhasilan pelaksanaan
program Kependudukan dan KB, Soeharto memperoleh Penghargaan Tertinggi PBB di
bidang kependudukan atau disebut dengan UN Population Award. Penghargaan ini
disampaikan langsung oleh Sekjen PBB Javier de Cuellar di markas besar PBB di
New York. Pernghargaan tersebut diserahkan bertepatan dengan hari ulang tahun Soeharto
ke 68 pada 8 Juni 1989.
c. Swasembada
Beras
Potensi yang dimiliki bangsa
Indonesia yang paling kentara adalah di bidang pertanian. Soeharto sadar betul
akan potensi tersebut. Karena itu, pembangunan di sektor pertanian mendapat
perhatian utama di era kepemimpinan Soeharto. Bukan saja karena ia anak petani
yang peduli pada nasib petani, namun kehidupan pertanian itulah yang dilihatnya
sebagai potensi besar yang harus digali secara maksimal.
Kerja keras dalam bidang pertanian
sejak Pelita I (1969), membuat Indonesia mampu meningkatkan hasil pertanian dan
memperbaiki kehidupan petani. Dan hasilnya, tahun 1984 Indonesia berhasil
mencapai swasembada beras. Itulah yang dipikirkan oleh Soeharto karena ia sadar
beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Keberhasilan ini mempunyai nilai
spektakuler karena mengubah Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia
menjadi swasembada. Sukses ini mengantar Soeharto diundang berpidato di depan
konferensi ke-23 FAO pada 14 November 1985 di Roma, Italia. Pada kesempatan
itu, Soeharto menyerahkan bantuan 1.000.000 ton gabah yang merupakan sumbangan
dari para petani Indonesia untuk diserahkan kepada rakyat di negara – negara
Afrika yang menderita kelaparan. “Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai
berhasil maka itu merupakan “kerja raksasa” dari seluruh bangsa Indonesia.”
kata Soeharto di dalam pidatonya di depan wakil – wakil dari 165 negara anggota
FAO.
Kerja keras para petani ini
berhasil meningkatkan produksi beras, yang tahun 1969 hanya sebesar 12,2 juta
ton menjadi lebih dari 25,8 juta ton pada tahun 1984. Kepada peserta
konferensi, Soeharto juga memperkenalkan seorang petani andalan asal Tajur,
Bogor yang ikut dalam rombongannya.
Atas keberhasilan swasembada pangan
ini, Dirjen FAO Dr. Edouard Saouma dalam kunjungannya ke Jakarta, Juli 1986,
menyerahkan penghargaan medali emas FAO. Medali tersebut menampilkan gambar Soeharto
dan di sisi lainnya gambar seorang petani yang sedang menanam padi dengan
tulisan “From Rice Importer to Self-Sufficiency”.
Ini memang sebuah penghargaan yang
luar biasa bagi negara Indonesia. Penghargaan internasional ini membuat
Indonesia semakin dikagumi dan disegani oleh negara – negara lain. Berkat
kreasi Soeharto, negeri ini bisa mencapai swasembada beras bahkan bisa
memberikan bantuan beras kepada negara – negara lain.
d. Membuat
Konsep Trilogi Pembangunan
Untuk membangun bangsa Indonesia
dari keterpurukan, Soeharto tentu memiliki konsep dasar sebagai landasan ia
bekerja. Untuk itu, Soeharto memperkenalkan konsep Trilogi Pembangunan pada
awal Pelita I meliputi:
1. Pemerataan
pembangunan dan hasil – hasilnya yang menuju pada tercapainya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Soeharto meletakkan dasar – dasar pembangunan berkelanjutan melalui Pelita, dan
menetapkan Trilogi Pembangunan sebagai strategi untuk tinggal landas menuju
masyarkat Indonesia yang adil dan sejahtera. Stabilitas nasional dibutuhkan
untuk kelancaran pembangunan, juga untuk menarik minat investor asing guna ikut
menggerakkan roda ekonomi dan membuka lapangan kerja. Sebab, tanpa pertumbuhan
ekonomi tidak akan ada pemerataan hasil – hasil pembangunan.
e. Integrasi
Timor Timur
Pada tahun 1974 muncul masalah di
wilayah Timor Portugis. Indonesia menganggap bahwa jalan yang terbaik bagi
Timor Portugis untuk mencapai kemerdekaannya ialah melalui penggabungan dengan
Indonesia. Tetapi, keputusan tetap yang menentukan adalah rakyat Timtim sendiri
karena Soeharto tidak pernah berambisi untuk mencaplok negara lain. Hal ini
sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia jelas
menentang segala bentuk penjajahan. Termasuk juga penjajahan Portugis atas
wilayah Timor Timur. Namun rencana penggabungan tersebut menimbulkan banyak
reaksi baik yang pro maupun yang kontra.
Pada bulan Agustus 1975, muncul
keributan di Timtim. Partai UT bersama Apodeti (pro penggabungan) berhadapan
dan bertentangan dengan Fretilin (dukungan Portugis) hingga akhirnya pecahlah
perang saudara diantara mereka. Karena lemah, Apodeti meminta bantuan RI dan
menganggap Indonesia sebagai saudara mereka sendiri. Kemudian pemerintah
memberikan bantuan dengan mengirim sukarelawan.
Atas keterlibatan Indonesia dalam
wilayah konflik Timor Portugis itu, banyak sorotan dunia internasional kepada
pemerintah Indonesia, terutama dari pemerintah Portugis sendiri yang menganggap
Timor Timur adalah bagian dari teritorialnya. Hanya saja ketika itu pemerintah
Portugis didominasi komunis, sehingga negara – negara di kawasan ASEAN termasuk
juga Australia merasa tidak nyaman. Bahkan sebagian warga Timor Timur sendiri
sangat menentang pemerintahan komunis di Portugis. Maka konflik internal di
wilayah Timor Timur pun mulai bergolak.
Akhirnya berkat kelebihan diplomasi
internasional dan pengalaman strategi militer Soeharto, pada bulan Juli 1976
terjadi penggabungan resmi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia.
Inilah salah satu jasa Soeharto yang tidak bisa diingkari walau akhirnya Timtim
kembali dilepaskan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
f. Membangun
Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
mulai dibangun pada tahun 1972 dan diresmikan 20 April 1975. Taman Mini
merupakan suatu kawasan wisata budaya yang menggambarkan Indonesia yang besar
dalam bentuknya yang kecil (sebuah miniatur) dimana berbagai aspek kekayaan
alam dan budaya bangsa Indonesia yang diperagakan di area seluas 150 hektar. Dengan
berekreasi ke TMII, pengunjung serasa mengelilingi Indonesia dengan membawa
berbagai pemahaman tentang kebesaran tanah air Indonesia.
Pembangunan TMII digagas oleh Ibu Tien
Soeharto. Gagasan ini berupa keinginan atau cita – cita untuk membangkitkan
rasa bangga dan tebalnya rasa cinta tanah air. Gagasan ini tercetus pada suatu
pertemuan di Jalan Cendana No. 8 Jakarta pada tanggal 13 Mei 1970.
Mulanya banyak pihak menentang
keras rencana pembangunan TMII ini karena dianggap mubazir, mambuang biaya, dan
sama sekali tak bermanfaat. Namun hati Bu Tien tetap bersikeras untuk
mewujudkannya. Karena TMII adalah penting untuk masa depan bangsa, khususnya
generasi ke generasi. Maka dimulailah suatu proyek yang disebut Proyek Miniatur
Indonesia “Indonesia Indah” yang dilaksanakan oleh Yayasan Harapan Kita.
Kekokohan hasil proyek ini
terbentuk berkat filsafat yang berpangkal pada amanat – amanat Soeharto yang
pada intinya ialah keseimbangan usaha pembangunan fisik dan ekonomi dengan
pembangunan mental spiritual. Filsafat inilah yang menjadi batu pijakan
pembangunan dan pengembangan proyek pembuatan Taman Mini Indonesia Indah.
Ada lima aspek dan prospek yang
dijadikan baik pijakan pembangunannya maupun pandangan dalam pengembangannya
yaitu spiritual, pendidikan dan kebudayaan, teknologi, ekonomi, dan
kesejateraan. Aspek dan prospek spiritual serta pendidikan dan kebudayaan
adalah aspek yang tidak terlepaskan dari pandangan hidup Soeharto. Bahkan ia
mengatakan bahwa setiap usaha pembangunan ekonomi tidak mungkin dilakukan tanpa
pembangunan mental, spiritual, rohaniah dan sosial.
Kini manfaat dari pembangunan TMII
yang diprakarsai Soeharto dan Ibu Tien dapat dirasakan oleh semua rakyat hingga
ke anak cucu. TMII memperkenalkan seni budaya bangsa dan menjadi ajang rekreasi
yang sehat bagi kita semua. Selain itu, TMII bukan hanya dapat dijadikan tempat
rekreasi bagi warga dan wisatawan asing, tetapi juga merupakan pusat kebudayaan
Indonesia yang dapat kita banggakan.
B.2.
Problematika yang Dihadapi Selama Kepemimpinan Presiden Soeharto
a. Peristiwa
Malari
Salah
satu kejadian yang cukup kontroversial pada orde baru adalah peristiwa
malapetaka 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan Malari. Peristiwa ini
terjadi tepat pada saat kunjungan Perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei ke
Indonesia. Jepang pada saat itu dianggap sebagai pemeras ekonomi Indonesia
karena mengambil lebih dari 53% ekspor (71% diantaranya berupa minyak) dan
memasok 29% impor Indonesia, selain itu investasi jepang yang semakin bertambah
dari waktu ke waktu di Jawa dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil
pribumi. Hal ini mendapat perhatian dari masyarakat khususnya kalangan
mahasiswa. Tepat pada hari kedatangan PM Jepang Tanaka, mahasiswa se-Indonesia
melakukan aksi bersama di pusat ibukota. Pergerakan ini dipimpin oleh Hariman
Siregar yang saat itu menjabat sebagai ketua DMUI. Aksi apel besar yang
dipusatkan dihalaman Universitas Trisakti ini tadinya merupakan aksi damai,
namun tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki diberbagai tempat di
wilayah ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang semuanya dibakar,
bahkan gedung-gedung dan pusat perbelanjaan di Senen, Harmoni, pun ikut
dibakar. korban-korban berjatuhan, dari yang luka kecil bahkan sampai korban
jiwa. Total terdapat 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775
orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dibakar, 160 kg emas raib. Selain itu
terdapat 144 gedung yang porakporanda termasuk gedung Astra Toyota Motors,
coca-cola, Pertamina, dan puluhan toko di proyek Senen.
Setelah
diusut ternyata terdapat oknum-oknum gelap dibalik peristiwa Malari itu.
Kenyataanya aksi pelajar dan mahasiswa itu telah ditunggangi oleh pihak tak
bertanggung jawab. Pada siang hari itu, mahasiswa dan pelajar sedang melakukan
apel besar untuk menolak modal Jepang terkait kedatangan PM Jepang, namun
ternyata terdapat mahasiswa selundupan yang diduga telah dibayar oleh seseorang
asisten pribadi presiden bernama Ali Moertopo untuk melakukan provokasi
terhadap masyarakat agar melakukan kerusuhan sehingga terkesan kalau mahasiswa
merupakan dalang dibalik kerusuhan ini. Ternyata peristiwa Malari ini bukan
peristiwa yang sederhana, terdapat banyak faktor dan latar belakang yang
menyebabkan peristiwa ini terjadi.
Kronologi Kejadian
Peristiwa Malari sendiri bukanlah satu-satunya
kejadian yang terjadi akibat masalah ekonomi pada saat itu. Jauh sebelum Malari
terjadi telah ada aksi-aksi lain yang sebenarnya menjadi menjadi pemicu
terjadinya Apel Tritura jilid II pada tanggal 15 Januari 1974 yang berujung
huru-hara itu.
a.
Diskusi 28 tahun kemerdekaan Indonesia
Acara ini digelar oleh Grup Diskusi Universitas
Indonesia (GDUI) pada tanggal 13-16 Agustus 1973 dengan mengundang
Soebadriosastrosatomo, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB.
Simatupang. Kesimpulan dari diskusi ini adalah perlunya praktik politik dan
serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah dan bukan sekedar diskusi-diskusi.
Dikalangan generasi muda dan tua masih terdapat
perbedaan pandangan mengenai struktur politik serta lebih banyak kondisi
dihadapi dalam merumuskan strategi bersama. Ada dua pandangan dalam melihat
praktik kekuasaan yaitu, melihatnya dari luar dan mengubahnya dari dalam.
b.
Petisi 24 Oktober
Untuk memperingati sumpah pemuda DMUI menggelar sebuah
diskusi yang mengundang perwakilan dari tiap-tiap angkatan mahasiswa: ’28, ’45,
’66. Adapun untuk pembicara adalah Soediro (perwakilan angkatan 28), B.M. Diah
(mewakili angkatan 45), Cosmos Batubara (mewakili angkatan 66), dan juga
Hariman Siregar. Ada juga pembicara lain seperti Emil Salim dan juga Frans
Seda. Dari hasil diskusi ini lahirlah Petisi 24 Oktober yang dibacakan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata.
c.
Ikrar 10 November 1973
Ikrar ini di buat untuk memperingati hari pahlawan
para mahasiswa yang terdiri dari 8 dewan mahasiswa antara lain UI, ITB, dan
UNPAD. Membacakan sebuah ikrar mengenai kesatuan tekad dan meningkatkan
solidaritas sesama mahasiswa.
d.
Kedatangan J.P. Pronk (ketua IGGI)
Kedatangan ketua IGGI, sebuah organisasi yang mengatur
hutang di Indonesia, disambut dengan demonstrasi dan poster-poster berisi
kalimat protes dari mahasiswa. Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun
juga di Yogyakarta.
e.
Diskusi tanggal 30 November 1973
Diskusi mengenai untung rugi modal asing ini diadakan
di Balai Budaya Jakarta oleh eks anggota Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia
seperti, Mochtar Lubis, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien. Diskusi ini
menghasilkan sebuah ikrar yaitu “Ikrar Warga Negara Indonesia” yang
ditandatangani oleh 152 orang yang hadir.
f.
Malam Tirakatan 31 Desember 1973
Pada malam tahun baru ini DMUI menggelar sebuah malam
renungan yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan
Bandung. Malam itu Hariman Siregar membacakan sebuah pidato yang berjudul “Pidato
Pernyataan Dari Mahasiswa”. Pidato itu dituding menjadi seruan untuk gerakan
makar terhadap pemerintah. Dalam pidato itu menunjukkan bukti peran pemuda akan
kepedulian terhadap keadaan bangsa dan pemuda bisa melakukan perubahan.
g.
12 – 15 Januari 1974
Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang
diwakili oleh ketua dewan mahasiswa masing – masing bertemu dengan presiden.
Pertemuan ini menghasilkan 6 tuntutan mengenai pemberantasan korupsi dan
pembenahan ekonomi. Karena tidak puas dengan hasil diskusi bersama presiden
akhirnya seluruh mahasiswa yang hadir berkumpul kembali di Student Center UI di
Salemba mereka memutuskan untuk melakukan sebuah apel akbar di halaman utama
Universitas Trisakti pada tanggal 15 Januari 1974 untuk membacakan kembali
tuntutan mereka.
Pada tanggal 14 Januari 1974, PM Jepang, Kakuei
Tanaka, datang ke Indonesia. Dia disambut dengan demonstrasi kecil-kecilan di
lapangan terbang Halim Perdanakusuma, kejadian ini membuat pemerintah
memperketat penjagaan terhadap seluruh aksi mahasiswa.
Tepat keesokan harinya, 15 Januari 1974, ratusan
mahasiswa dan pelajar berkumpul di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba,
untuk melakukan longmarch ke halaman
Universitas Trisakti. Rencananya nanti mereka akan membacakan Tritura Jilid II
yang berisi 1) Bubarkan Aspri, 2) hentikan modal asing, 3) hukum para koruptor.
Namun kejadian ini digunakan oleh pemerintah untuk menjatuhkan
mahasiswa. Ada Invisible Hand yang
menyusupkan orang-orang bayaran untuk mengacaukan aksi dan melakukan provokasi
sehingga terjadi huru-hara. Diduga orang yang melakukan ini adalah Ali Moertopo
namun ada juga indikasi kalau Soeharto sendiri yang melakukan ini untuk
menghentikan aksi mahasiswa.
b. Diskriminasi
Terhadap Etnis Cina
Pada masa pemerintahan Orde Baru,
keberadaan Etnis Cina merupakan masalah yang krusial dalam tatanan pemerintahan
Soeharto. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas
kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang
berkembang di Indonesia. Citra Etnis Cina akhirnya dinilai memiliki pandangan
yang negatif dikalangan pemerintahan Soeharto yang terlihat dalam
kebijakan-kebijakannya.
Kebijakan asimilasi ditunjukkan
untuk mengasimilasi dan menyerap Etnis Cina ke dalam Penduduk Indonesia.
Kebijakan asimilasi ini meliputi penggunaan bahasa Indonesia terhadap nama-nama
orang Etnis Cina di Indonesia, dalam hal pendidikan mengenai anak-anak Etnis
Cina yang berkewarganegaraan Indonesia untuk masuk sekolah Indonesia,
partisipasi politik dengan mengasimilasi organisasi-organisasi yang terbentuk
pada zaman Soekarno.
Dalam bidang ekonomi, Soeharto
memberikan kesempatan kepada keturunan Tionghoa untuk mengembangkan usahanya
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Indonesia untuk memberikan
legitimasi kekuasaannya. Dengan begitu ia membuka pintu Indonesia serta
menerapkan politik pro-bisnis dan politik asimilasi total serta menghapus
budaya Tionghoa menjadi Etnis Cina, sehingga Etnis Cina dapat menikmati
kebebasan ekonomi dan pembatasan berpolitik. Kebijakan yang diterapkan pada
zaman Orde Baru masih tetap menghadapi diskriminasi.
Di bidang sosial,
pemerintah ingin membentuk sebuah masyarakat multiEtnis menjadi sebuah bangsa,
satu tanah air, satu bahasa. Motto Bhineka Tunggal Ika (Persatuan dalam
perbedaan) mengakui berbagai kelompok Etnis di Indonesia. Motto tersebut
berlaku terhadap minoritas pribumi regional ini tetapi tidak berlaku terhadap Etnis
Tionghoa. Tujuan kebijakan Indonesia ini adalah menyerap Etnis Tionghoa ke
dalam kelompok pribumi.
Kebijakan dalam
bidang kebudayaan tidak berhasil dilaksanakan, karena orang-orang Etnis
Tionghoa masih melestarikan budaya leluhurnya. Dari semua kebijakan asimilasi
yang paling berhasil dalam bidang pendidikan. Orang Tionghoa yang
berkewarganegaarn Indonesia diharuskan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah
Indonesia. Banyak sekolah Cina yang dirubah menjadi sekolah Indonesia. Sebagian
besar anak-anak dari peranakan Tionghoa mengenyam pendidikan di Indonesia,
sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan membatasi jumlah Etnis
Tionghoa yang berkuliah di Universitas-Universitas Negeri.
Pemerintah hanya mengijinkan 10% orang-orang Tionghoa Indonesia untuk masuk
Universitas negeri.
c. Kegagalan Dalam Bidang Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik
Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri
dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan
Indonesia terhadapa modal asing.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau
Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi -
dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia.
Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk
mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau
Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan
aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi
kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde
Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer
namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan
aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang
adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada
Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad
II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa
tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak
lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan
kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat
kestabilan politik yang tinggi.
d.
Krisis Moneter
Krisis moneter yang melanda
Indonesia sejak awal Juli 1997 telah berlangsung hampir dua tahun dan telah
berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin
banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.
Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter
saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang
secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di
banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun
terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa
kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan
kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, padahal
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan
disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi
yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi
terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara
keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar
namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi
anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini
terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik
yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi
tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi
dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga masuk dana luar negeri
dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak
meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge.
Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua
kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi
adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh
tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan
berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
Sebagai konsekuensi dari krisis
moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan
membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan
sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober
1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar
valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan
oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat
dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513
akhir Januari 1998.
e. Kerusuhan
Mei 1998
Krisis moneter dan ekonomi yang
menimpa Indonesia sejak Juni 1997 berkembang menjadi krisis multidimensi. Demo
melawan rezim militer Soeharto terus – menerus meningkat di seluruh kota,
terlebih di Jakarta yang dimotori oleh mahasiswa dan pemuda. Demo di lingkungan
kampus mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol pada 12 Mei 1998 dihadapi oleh
ABRI dengan tembakan senjata yang menewaskan 4 orang mahasiswa. Hari berikutnya
terjadi berbagai upaya provokasi terhadap mahasiswa Trisakti untuk melakukan
kekerasan, tetapi pancingan itu tidak mempan.
Berbagai demo pada 13 Mei diikuti
berbagai insiden kekerasan, pada malam harinya terjadi ancaman kerusuhan, hari
berikutnya 14 Mei di Jakarta terjadi kerusuhan yang dengan cepat berkembang.
Terjadi pembakaran dan penjarahan pertokoan, perkantoran dan beberapa perumahan
yang merembet ke seluruh Jakarta, hari berikutnya meluas ke seluruh
Jabodetabek, malahan sampai ke kota lain di Indonesia. Dalam kerusuhan dan
pembakaran di Jakarta dan sekitarnya telah jatuh korban 2.224 meninggal.
Kebanyakan dalam kondisi terpanggang api di pertokoan dan mal yang dibakar
ketika penjarahan sedang memuncak. Selama kerusuhan telah terjadi perkosaan
terhadap 152 perempuan Etnis Tionghoa di berbagai tempat, di jalanan, di tempat
lain, utamanya di perumahan. Perkosaan dilakukan secara bergerombol, 20
diantaranya meninggal. Sebagian rumah korban perkosaan ini kemudian dibakar
beserta korbannya. Hal ini terungkap dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Tim
Relawan untuk kemanusiaan yang disampaikan oleh Romo Sandyawan.
Berdasarkan pengamatan langsung,
apa yang terekam di televisi dan penyelidikan Tim Relawan di atas menunjukkan
penjarahan dan pemerkosaan dilakukan setelah adanya provokasi dan hasutan dari
gerombolan tak dikenal. Gerombolan tersebut umumnya berbadan kekar berotot,
berambut cepak, mengenakan sepatu bot militer dengan penampilan jagoan. Para
provokator tidak dikenal oleh penduduk setempat, mereka diangkut dengan bus
atau truk dalam jumlah 20 – 30 orang. Kaum provokator sendiri tidak melakukan
penjarahan. Pada saat massa sedang seru – serunya menjarah dan merusak
pertokoan atau mal, maka lantai bawah dalam beberapa detik saja dibakar dan
menjarah dengan cepat ke seluruh bangunan. Lalu para provokator menghilang
dengan cepat. Nampaknya pembakaran dilakukan dengan peralatan yang tidak biasa
dan dilakukan oleh orang – orang terlatih. Seperti yang ditulis pakar sinologi
I Wibowo, kerusuhan itu hasil rekayasa elite politik yang mempunyai sumber daya
yang luar biasa, baik dana maupun manusia, sadar sepenuhnya akan kerapuhan Etnis
Tionghoa terhadap aksi dengan isu rasial.
C.
Analisis
SWOT Gaya Kepemimpinan dan Model Komunikasi Presiden Soeharto
C.1. Kepemimpinan Presiden Soeharto
a. Gaya
Kepemimpinan
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966
kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan
pemerintahan Era Orde Baru. Berdasarkan teori psikologi kepemimpinan, sifat
kepemimpinan yang ada pada diri Soeharto muncul karena dinamika dan interaksi
sosial. Artinya, jiwa kepemimpinan Soeharto tidak diwariskan secara turun
temurun dari keluarganya.
Tahun – tahun pemerintahan Soeharto diwarnai dengan praktik
otoritarian dimana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan
dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang
politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah
ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan
keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan
sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga
perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara
serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa
Golkar.
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka
jelas sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan
yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter
yang dimiliki oleh Soeharto merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada
masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini
dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak
menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun,
dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat
otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah
banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat
negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh
kultur atau masyarakat.
b.
Orientasi
b.1.
Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya
sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap
lingkup daerah pembangunan nasional. Dalam setiap periode kekuasaannya, ia
digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup pembangunan lokal saja
atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan yang
paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam
lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan
pembangunan regional Daerah Tingkat I Provinsi relatif jarang dibicarakan oleh
pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto
sebagai pemimpin yang memberikan perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan
perkotaan tanpa membedakan diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang
membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya
daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan sebagai
pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah
perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai
pemimpin yang memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah.
Ia jarang digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan
wilayah Barat saja atau wilayah Timur saja.
Berdasarkan analisis program–program selama masa
kepemimpinannya, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang
pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan
sektor – sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan
pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik
pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah
ekonomi.
b.2.
Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan,
Presiden Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter,
atau dalam istilah Likert (1961) disebut “exploitative
– authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari
periode ke periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto
berfungsi menghibur, memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik
konstruktif sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif
kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden
Soeharto dalam berita surat kabar juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin
yang mengutamakan hubungan dengan lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding
dengan lembaga – lembaga politik lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan
pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur,
bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR /
MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol,
serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden
Soeharto menyampaikan pesan – pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan
kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif
lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan
pesan-pesan kepada pihak lainnya.
c.
Kepribadian
Menurut
penulis Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka
menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang
dimilikinya.
Apabila ia
berusaha menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto
biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya
kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada
bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha
menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia,
berani melawan musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun
pada masa pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan
pembangunan nasional.
C.2. Model Komunikasi Presiden Soeharto
a.
Pola Komunikasi
Menurut Edward T. Hall (1976) bahasa yang digunakan
seseorang terbagi menjadi dua yaitu
bahasa konteks tinggi dan bahasa konteks rendah. Bahasa konteks tinggi adalah
bahasa yang penuh isyarat. Bahasa jenis ini sulit dipahami maknanya tanpa
memahami konteks yang ada disekitarnya khususnya konteks budaya. Sedangkan
bahasa konteks rendah tidak sulit dipahami sebab disampaikan secara lugas, to the point, dan apa adanya. Berdasarkan
pembagian ini, bahasa yang digunakan Soeharto dalam berkomunikasi adalah bahasa
konteks tinggi.
Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai
seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering
memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan orang lain dibanding
menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan verbal sebagaimana
tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto kepada
berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan,
opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnya.
Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang
memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi pesan – pesan politiknya dari periode ke
periode mengalami pasang – surut. Pada
periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa
jabatan pertama 1968 – 1973, dominasi
gagasan – gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto.
Namun, pada periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa
jabatan kedua sampai kelima 1973 – 1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan
ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan
terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada
periode puncak dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan
ketujuh 1993 – 1998, isi pesan-pesan politik
Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang ia berikan
terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.
b.
Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai
seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar
perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan
nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan
instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi
permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu
diprioritaskan.
Selain itu,
alasan yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika
meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya
menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi,
dan upaya lainnya.
Ketika ia
meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya
memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata
atau kalimat netral dibanding membujuk (persuasive)
atau memerintah (instructive atau coercive). Kesan yang dapat ditimbulkan
dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada
akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada
masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi
pesan-pesan itu.
Meskipun
demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya berupa
penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang
diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong
penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima
pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran
pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan
manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu
tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya
hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf
memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
C.3. Analisis SWOT
Analisis
SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi
kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau program.
Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Proses ini melibatkan
penentuan tujuan yang dan identifikasi faktor internal dan eksternal yang
mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT dapat
diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi
keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matriks SWOT, dimana
aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths)
mampu mengambil keuntungan (advantage)
dari peluang (opportunities) yang
ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses)
yang mencegah keuntungan (advantage)
dari peluang (opportunities) yang
ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths)
mampu menghadapi ancaman (threats)
yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan
sebuah ancaman baru.
Metode
SWOT adalah metode yanag akan penulis gunakan untuk menganalisa gaya
kepemimpinan dan model komunikasi Soeharto pada masa kepemimpinannya. Dalam
analisis ini akan digunakan empat kriteria penilaian yaitu kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Untuk lebih jelasnya berikut
akan dijabarkan masing – masing kriteria.
1. Kekuatan
(stength)
Dalam
teori behaviorisme dikatakan bahwa lingkungan memengaruhi kepribadian dan
tingkah laku seseorang. Teori ini nampaknya teori yang tepat untuk
menggambarkan sifat dan kepribadian Soeharto. Sebagai seseorang yang hidup dan
besar di lingkungan militer, Soeharto memiliki sikap cekatan dan sistematis.
Sikap tersebut sangat jelas terlihat pada gaya kepemimpin melalui pelaksanaan
berbagai kebijakan. Salah satu contohnya adalah Repelita yang merupakan
rancangan pembangunan dalam jangka lima tahun. Repelita merupakan kebijakan
bersifat sistematis dan berkelanjutan yang sangat menggambarkan sikap Soeharto.
Sikap cekatan dan sistematis ini merupakan kekuatan utama Soeharto pada masa
kepemimpinannya yang membuat pembangunan nasional di berbagai bidang bisa
terlaksana dengan baik.
Selain
sikap cekatan dan sistematis, presiden Soeharto memiliki sifat pemberani. Hal
ini merupakan modal penting bagi seorang pemimpin ketika menghadapi suatu
permasalahan. Sifat pemberani Soeharto sangat terlihat jelas dari peristiwa
penggabungan Timor Timur dimana Soeharto berani mengambil kebijakan untuk
membantu Timor Timur meskipun harus berhadapan dengan Portugis.
Selain
pada sikap dan kepribadiannya, gaya kepemimpinan Soeharto juga dapat menjadi kekuatan.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa gaya kepemimpinan Soeharto cenderung otoriter,
dominan, dan sentralistis. Banyak orang yang menganggap gaya kepemimpinan
seperti ini adalah gaya kepemimpinan yang salah karena tidak memperdulikan
aspirasi dari masyarakat. Namun menurut penulis, gaya kepemimpinan seperti ini
tidak selamanya salah tergantung pada situasi dan kondisi di suatu negara. Gaya
kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Soeharto merupakan suatu gaya
kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan
situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia
masih sangat rendah. Selain itu dengan gaya kepemimpinan yang seperti ini juga akan
membuat masyarakat patuh terhadap kebijakan pemerintah, sehingga semua
kebijakan dapat terlaksana dengan baik.
Dilihat dari
cara kemampuan berkomunikasinya, Soeharto memiliki kemampuan berdiplomasi yang
mumpuni. Hal ini terlihat dari cara Soeharto berdiplomasi di sidang
internasional dalam rangka penggabungan Timor Timor menjadi salah satu provinsi
di Indonesia. Memang di satu sisi, dalam komunikasi sehari – hari beliau selalu
menggunakan bahasa konteks tinggi yang sulit dipahami. Namun di sisi lain Soeharto
memiliki kemampuan diplomasi yang luar biasa.
Kekuatan
selanjutnya yang dimiliki Soeharto adalah beliau memiliki jiwa semangat yang
tinggi. Dalam melaksanakan program – programnya Soeharto memiliki jiwa semangat
yang tinggi untuk menjamin program – programnya dapat berjalan dengan baik.
Meskipun harus dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan untuk mensukseskan
program kesehatan untuk anak – anak, presiden Soeharto langsung terjun ke
lapangan. Jiwa semangat ini sangat jarang sekali dimiliki oleh seorang
pemimpin. Selain itu, Soeharto juga orang yang visioner. Beliau adalah orang
yang selalu melihat ke depan yang terwujud dalam berbagai kebijakannya. Salah
satu kebijakan yang paling nyata adalah dengan penetapan Repelita yang
merupakna acuan dalam melaksanakan program – program. Dalam Repelita, tertera
rencana – rencana pembangunan yang akan dilakukan baik untuk jangka waktu yang
pendek atau jangka waktu yang panjang. Contoh lainya adalah pelaksanaan program
transmigrasi dan membuka peluang investasi asing. Dengan dilakukannya program
transmigrasi akan membuka lapangan pekerjaan, program
transmigrasi juga ditujukan untuk membuka dan mengembangkan daerah produksi
baru di luar Jawa dan Bali, terutama membuka daerah pertanian yang baru.
2. Kelemahan
(weaknesses)
Selain
memiliki kekuatan, gaya kepemimpinan dan model komunikasi yang digunakan Soeharto
juga mempunyai kekurangan. Gaya kepemimpinan Soeharto yang terkesan otoriter,
dominan dan sentralistik memang awalnya tepat karena pada masa awal
kepemimpinannya tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan
juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun seiring dengan
berkembangnya pemikiran masyarakat dan masyarakat semakin tahu apa itu
demokrasi, maka gaya kepemimpinan yang otoriter tidak lagi menjadi kekuatan
malah justru kelemahan yang berujung pada lengsernya Soeharto.
Dilihat dari
model komunikasinya, Soeharto menggunakan bahasa konteks tinggi. bahasa seperti
ini penuh dengan isyarat yang terkadang sulit untuk dipahami tanpa memahami
konteks yang ada disekitarnya khususnya konteks budaya. Presiden Soeharto dalam
berkomunikasi dengan bawahannya sering kali tidak secara gamblang menyampaikan
apa yang dimaksudkan. Indikasi dari penggunaan bahasa konteks tinggi Soeharto
adalah keengganannya untuk menemui orang yang tidak disenanginya. Ketika
menerima menteri di ruang kerjanya, Soeharto mempunyai cara tersendiri untuk
“mengusir” sang tamu jika ia sudah bosan dengan tamunya yaitu dengan melihat
jam tangan atau mempersilahkan tamunya untuk minum. Penggunaan bahasa konteks
tinffi ini tentunya akan menimbulkan penafsiran yang berbeda karena setiap
orang mempunyai persepsi yang berbeda – beda tentang suatu hal. Selain itu, Soeharto
sering kali dalam menyampaikan pesannya, presiden menggunakan orang ketiga.
Penggunaan orang ketiga dalam menyampaikan pesan jelas merupakan kekeliruan
yang diterapkan Soeharto dalam berkomunikasi. Karena sering kali pesan yang
disampaikan oleh orang ketiga tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh
Soeharto.
Selain
bahasa yang digunakan Soeharto adalah bahasa konteks tinggi, Soehrto juga
sering kali tidak transparan. Hal ini jelas akan menimbulkan reaksi dari
berbagai pihak terutama masyarakat yang membutuhkan transparansi dari
pemerintah. Selaian itu presiden juga terkesan tidak mau menerima kritik dari
masyarakat. ketika ada pihak – pihak tertentu yang mencoba mengkritik
pemerintah, dengan cepat pemerintah mengamankan orang yang bersangkutan. Kemudian
beberapa kebijakan Soeharto pun dinilai masih belum maksimal. Dalam memuluskan
kebijakan – kebijakannya, pemerintah pada masa kepemimpinan Soeharto masih
memiliki ketergantungan hutang dengan negara lain.
Jiwa
semangat Soeharto selain memiliki keunggulan, juga dapat membawa dampak yang
kurang baik. Soeharto terkesan ambisius dalam mewujudkan program – programnya.
Hal ini sangat terlihat dari cara beliau menggunakan cara – cara yang
sebenarnya tidak tepat. Misalnya saja ketika Soeharto ingin mewujudkan
swasembada pangan. Untuk mewujudkan impiannya, presiden memerintahkan kepada
para petani untuk menanam padi dengan jenis yang sama. Kemudian presiden juga
memerintahkan untuk menggunakan pupuk kimia dan melarang penggunaan pupuk
kandang. Meskipun dengan cara demikina swasembada pangan dapat terwujud, namun
di sisi lain banyak dampak yang harus ditanggung oleh petani diantaranya tanah
di sawah mereka tidak lagi subur karena efek dari penggunaan pupuk kimia.
3. Peluang
(opportunities)
Keberhasilan
yang dilakukan Soeharto melalui berbagai pembangunan tentunya berdampak positif
bagi kehidupan masyarakat. Salah satu kebijakan yang dapat dirasakan
manfaatkannya adalah program swasembada pangan. Selain mendapatkan perhatian
dari dalam negeri, ternyata keberhasilan Indonesia dalam keberhasilan
swasembada pangan juga mendapatkan perhatian dari FAO dengan memberikan
penghargaan medali emas. Keberhasilan yang dicapai ini tidak lain salah satunya
karena dedikasi Soeharto.
Terwujudnya
berbagai program, jelas akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk menjadi
negara yang diperhitungkan kemampuannya di negara lain. Melalui program
swasembada pangan, Indonesia bahkan mampu menyumbangkan 1.000.000 ton beras ke
peduduk negara – negara di Afrika.
Kemudian
jika kita melihat gaya kepemimpina Soeharto yang otoriter, jelas akan
memberikan peluang untuk terwujudnya negara yang aman. Karena masyarakat yang
berani bertindak kriminal akan ditindak dengan tegas oleh pemerintah. Salah
satu contohnya adanya Petrus (penembak misterius) yang memburu para preman yang
berbuat kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia.
4. Ancaman
(threats)
Penerapan
gaya kepemimpinan yang otoriter pada saat tertentu memang dapat membawa
perubahan yang positif bagi masyarakat. Namun pada saat yang berbeda dapat
menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Gaya kepemimpinan otoriter yang
dilakukan oleh Soeharto dapat menimbulkan ancaman. Ancaman tersebut dapat
muncul dari masyarakat yang akan berakibat pada hilangnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah. Apabila sudah demikian, maka akan menimbulkan
berbagai bentuk penolakan, misalnya peristiwa 5 Mei 1998. Demo besar – besaran
yang memakan korban ini tidak lain adalah bentuk penolakan masyarakat kepada
presiden. Masyarakat tidak mau lagi di bawah kekuasaan Soeharto, sehingga
masyarakat menginginkan agar Soeharto turun dari tahtanya. Selain mendapat
ancaman dari dalam negeri, penerapan gaya kepemimpinan yang otoriter juga akan
mendapat ancama dari dunia internasional. Masyarakat internasional akan
menganggap bahwa pemimpin Indonesia tidak manusiawi dengan merampas hak – hak
individu.
Berkaitan
dengan bahasa konteks tinggi yang digunakan Soeharto, jelas akan menimbulkan
ancaman. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda, dikhawatirkan apa
yang dipersepsikan oleh orang lain berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh
Soeharto. Karena terjadinya kesalahan penafsiran ini berpotensi pada kesalahan
pengambilan tindakan oleh bawahan. Salah satu contohnya adalah kasus penyerbuan
massa PDI Soerjadi yang didukung oleh aparat keamanan terhadap kantor Dewan
Pimpinan Pusat Partai Demokrasi (PDI) pada 27 Juli 1996 di Jalan Diponegoro
yang menimbulkan banyak korban terutama di kubu Megawati. Menurut hasil investigasi
Komnas HAM, 5 orang tewas, 149 menderita luka – luka dan 23 hilang dalam
insiden berdarah itu.
Setelah
beberapa tahun berlalu, peristiwa 27 Juli 1996 masih diselimuti banyak misteri.
Tuntutan keluarga korban, LSM dan Komnas HAM kepada pemerintah untuk mengadili
para “dalangnya”. Pertanyaan paling krusial adalah siapa sesungguhnya yang
merintahkan penyerangan? Banyak pihak, termasuk petinggi keamanan, menuding
bahwa Panglima Kodan Jaya (ketika itu) Mayor Jenderal TNI Sutiyoso yang harus
bertanggung jawab. Menurut sutiyoso peristiwa 27 Juli 1996 dimulai ketika
Presiden Soeharto memanggil sejumlah pejabat teras ABRI, termasuk dirinya untuk
mengatasi situasi. Presiden pada saat itu memerintahkan agar ABRI menghentikan semua kegiatan, termasuk orasi,
di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro. Presiden tidak pernah memerintahkan
penyerbuan. Namun istilah menghentikan
semua kegiatan, termasuk orasi, dipersepsikan dengan melakukan penyerangan
ke kantor PDI.
Jika
di amati dari beberapa kebijakan Soeharto juga memiliki ancaman dari pihak
luar. Misalnya saja kebijakan pembukaan investasi modal asing untuk membangun
pabrik atau perusahaan di Indonesia. Di satu sisi memang dapat menciptakan
lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi pengangguran, namun di sisi lain
akan terjadi eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
berlebihan.
Daftar Pustaka
Lesmana, Tjipta. 2009. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi
Politik Para Penguasa. Pt Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. 2006. Biografi.
http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id diakses pada 11 Juni 2013.
Rasidi, Zaim. 1998. Soeharto Menjaring Matahari. Mizan: Bandung.
Sari, Ambar Dewi. 2006. Beribu Alasan Kita Mencintai Soeharto.
PT Jakarta Citra: Jakarta.
Sutedjo, Harsono. 2010. Kamus Kejahatan ORBA: Cinta Tanah Air dan
Bangsa. Komunitas Bambu: Depok.
Tarmidi, Lepi T.1998. Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak,
Peran IMF Dan Saran. Universitas Indonesia: Jakarta.
Wahyudin, Khotiman dan Hariwijaya. 2008.
Orang – Orang Desa yang Sukses Menjadi
Pemimpim Besar Dunia. Elmatera Publishing: Yogyakarta.