A. Pendahuluan
Pembangunan
saat ini menjadi isu strategis yang sangat gencar diperbincangkan oleh negara –
negara di dunia terutama negara – negara berkembang. Pembangunan menuntut suatu
negara untuk bekerja keras agar dapat mengoptimalkan potensi dan sumber daya
yang dimiliki, sehingga mendatangkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Agar
pembangunan yang berkelanjutan terwujud dibutuhkan langkah – langkah konkrit
yang harus dilakukan. Salah satunya melalui program pemberdayaan masyarakat.
Ife
(dalam Martono, 2011) mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai proses
menyiapkan masyarakat dengan berbagai sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan
keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa
depan mereka, serta berpartisipasi dan memengaruhi kehidupan dalam komunitas
masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat yang mandiri, mampu menggali dan memanfaatkan potensi-potensi yang
ada didaerahnya, dan membantu masyarakat untuk terbebas dari keterbelakangan
atau kemiskinan.
Dalam
praktiknya program pemberdayaan sering kali mengalami permasalahan, salah
satunya adalah tidak meratanya program pemberdayaan yang diterima oleh
masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya yaitu perbedaan
jenis kelamin yang sering kali menghambat masyarakat dengan jenis kelamin
tertentu (misal perempuan) untuk berpartisi aktif dalam program pemberdayaan
terutama dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki.
Sebagaimana
kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban
manusia tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki. Budaya dan ideologi
bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan
disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan
nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau
masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara
dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan
sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan,
asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam
kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada
gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta
kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik.
Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender
tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD 1945, hak laki-laki
dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda.
Keberadaan
budaya patriarki secara langsung maupun tidak langsung telah menempatkan
perempuan sebagai kelas kedua. Bahkan dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih
berlaku nilai-nilai yang mencerminkan subordinasi perempuan, seperti ungkapan
"kanca wingking" (teman pendamping) atau swarga nunut, neraka katut
(ke surga ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa
perempuan tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan tidak berdaya dan tidak
berkuasa atas dirinya.
Subordinasi pada perempuan, berdampak pula
pada proses pemberdayaan yang seakan – akan hanya memprioritaskan laki – laki
untuk aktif dalam program pemberdayaan di berbagai sektor. Perempuan hanyalah
kelompok yang hanya menerima hasil dari pemberdayaan yang dilakukan oleh kaum
laki – laki. Kondisi seperti ini bukanlah kondisi yang ideal untuk mewujudkan
program pembangunan yang optimal. Karena pada dasarnya perempuan pun mempunyai
banyak potensi yang perlu dikembangkan.
Bercermin
pada permasalahan di atas muncullah istilah pemberdayaan perempuan sebagai jawaban
dari permasalahan subordinasi perempuan dalam pembangunan. Kaum perempuan
merupakan sumber daya manusia yang juga harus dikembangkan potensinya untuk
mendukung program pembangunan berkelanjutan. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah sudah sejauh manakah program pemberdayaan perempuan tersebut berjalan?
Pertanyaan ini lah yang mendasari penulis untuk menyusun makalah dengan judul
“Pemberdayaan Perempuan Sebagai Upaya Optimalisasi Sumber Daya Manusia Untuk
Menuju Pembangunan Berkelanjutan”.
B. Permasalahan
Program
pemberdayaan masyarakat yang dicanangkan oleh pemerintah maupun LSM tidak
selalu berjalan mulus. Seringkali mengalami permasalahan terutama program
pemberdayaan yang dilakukan di masyakat yang menganut budaya patriarki.
Tumbuhnya budaya patriarki dalam masyarakat telah membawa keadaan asimetris,
ketimpangan dan subordinatif terhadap perempuan. Perempuan hanya dilihat
sebagai orang kelas dua dalam berbagai hal. Kerap kali program pemberdayaan yang
dirancang pun hanya untuk kaum laki – laki saja, sehingga yang terjadi adalah
potensi yang dimiliki kaum perempuan tidak dapat dikembangkan. Fakta ini lah
yang menjadi permasalahan untuk kemudian dicarikan solusi yang tepat sehingga
pembangunan berkelanjutan bisa tercapai.
C. Pembahasan
C.1. Pengertian
Pemberdayaan masyarakat
Kegiatan
pengembangan masyarakat merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan
suatu kelompok tertentu di suatu daerah. Pengembangan masyarakat tersebut biasa
dikenal dengan istilah pemberdayaan (empowerment)
masyarakat. Ada beberapa definisi mengenai konsep pemberdayaan. Ife (dalam
Martono, 2011) mendefinisikan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai proses
menyiapkan masyarakat dengan berbagai sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan
keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa
depan mereka, serta berpartisipasi dan memengaruhi kehidupan dalam komunitas
masyarakat itu sendiri. Kartasasmita (1995), mengemukakan bahwa pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Intinya bahwa pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk melahirkan masyarakat
yang mandiri dengan menciptakan kondisi yang memungkinkan potensi masyarakat
dapat berkembang.
C.1. Pengertian
Pemberdayaan Perempuan
Menurut
Novian (2010) pemberdayaan perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk
memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, politik, sosial,
budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri
untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah,
sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri. Pemberdayaan perempuan
merupakan sebuah proses sekaligus tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah
kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat.
Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin
dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya.
Pemberdayaan
perempuan merupakan upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai pemerataan
atau persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada setiap tingkat proses
pembangunan. Teknik analisis pemberdayaan atau teknik analisis Longwe sering
dipakai untuk peningkatan pemberdayaan perempuan khususnya dalam pembangunan. Sara
H. Longwee mengembangkan teknik analisis gender yang dikenal dengan Kerangka
Pemampuan Perempuan. Metode Sara H. Longwee mendasarkan pada pentingnya
pembangunan bagi perempuan, bagaimana menangani isue gender sebagai kendala
pemberdayaan perempuan dalam upaya memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan
upaya mencapai kesetaraan gender (Muttalib, 1993). Kriteria analisis yang
digunakan dalam metode ini adalah (1) tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses
(terhadap sumberdaya dan manfaat), (3) tingkat penyadaran, (4) tingkat
partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan), dan (5) tingkat penguasaan
(kontrol). Pemahaman akses (peluang) dan kontrol (penguasaan) disini perlu
tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini adalah kesempatan untuk
menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut, sedangkan
kontrol (penguasaan) diartikan sebagai kewenangan penuh untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang
mempunyai akses terhadap sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol
atas sumberdaya tersebut, dan sebaliknya.
Pendekatan
pemberdayaan (empowerment) menginginkan perempuan mempunyai kontrol terhadap
beberapa sumber daya materi dan nonmateri yang penting dan pembagian kembali
kekuasaan di dalam maupun diantara masyarakat (Moser dalam Daulay, 2006). Di
Indonesia keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki – laki
membuat pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat perempuan
bukan sebagai beban pembangunan melaikan potensi yang harus dimanfaatkan untuk
menunjang proses pembangunan.
Menurut
Moser dalam Daulay (2006) bahwa strategi pemberdayaan bukan bermaksud
menciptakan perempuan lebih unggul dari laki – laki kendati menyadari
pentingnya peningkatan kekuasaan, namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan
bukan sebagai dominasi yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong
dalam kapasitas perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal.
Menurut Suyanto dan Susanti (1996) dalam Daulay (2006) bahwa yang diperjuangkan
dalam pemberdayaan perempuan adalah pemenuhan hak mereka untuk menentukan
pilihan dalam kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan melalui kesanggupan
untuk melakukan kontrol atas sumber daya material dan nonmaterial yang penting.
Mengukur keberhasilan
program pembangunan menurut perspektif gender, tidak hanya dilihat dari
peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan tingkat kemiskinan. Tetapi
lebih kepada sejauhmana program mampu memberdayakan perempuan. Dalam mengukur
pengaruh sebuah kebijakan, dan atau program pembangunan terhadap masyarakat
menurut perspektif gender, Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni
pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender. Pemberdayaan
perempuan berdasarkan analisis gender adalah membuat perempuan berdaya dalam
memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis
kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan
ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan
ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun
perempuan (Moser dalam Daulay,
2006).
Suatu program
pembangunan yang berwawasan gender seharusnya berusaha untuk mengidentifikasi
ataupun memperhatikan kebutuhan komunitas. Dengan menggunakan pendekatan Gender And Development, kebutuhan
komunitas tadi dibedakan antara kebutuhan laki-laki dan perempuan baik bersifat
praktis maupun strategis. Kebutuhan praktis berkaitan dengan kondisi (misalnya:
kondisi hidup yang tidak memadai, kurangnya sumberdaya seperti pangan, air,
kesehatan, pendidikan anak, pendapatan, dll), sedangkan kebutuhan strategis
berkaitan dengan posisi (misalnya: posisi yang tersubordinasi dalam komunitas
atau keluarga).
Pemenuhan kebutuhan
praktis melalui kegiatan pembangunan kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu
yang relatif pendek. Proses tersebut melibatkan input, antara lain seperti
peralatan, tenaga ahli, pelatihan, klinik atau program pemberian kredit.
Umumnya kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki
kondisi hidup akan memelihara atau bahkan menguatkan hubungan tradisional
antara laki-laki dan perempuan yang ada. Kebutuhan strategis biasanya berkaitan
dengan perbaikan posisi perempuan (misalnya memberdayakan perempuan agar
memperoleh kesempatan lebih besar terhadap akses sumberdaya, partisipasi yang
seimbang dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan) memerlukan jangka waktu
relatif lebih panjang.
C.2. Tujuan Pemberdayaan Perempuan
Tujuan pemberdayaan
perempuan adalah untuk menantang ideologi patriarkhi yaitu dominasi laki – laki
dan subordinasi perempuan, merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan
melestarikan diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga,
kasta, kelas, agama, proses dan pranata pendidikan). Pendekatan pemberdayaan
memberi kemungkinan bagi perempuan miskin untuk memperoleh akses dan penguasaan
terhadap sumber – sumber material maupun informasi, sehingga proses
pemberdayaan harus mempersiapkan semua struktur dan sumber kekuasaan.
Argumentasi yang
melihat implikasi pengaruhnya terhadap laki – laki dari pemberdayaan perempuan
ini adalah pemberdayaan ini juga membebaskan dan memberdayakan kaum laki – laki
dalam arti material dan psikologis. Kaum perempuan memperkuat dampak gerakan
politik yang didominasi kaum laki – laki dengan memberikan energi, wawasan,
kepentingan dan strategi baru. lebih penting lagi dampak psikologis, jika
perempuan menjadi mitra setara maka kaum laki – laki dibebaskan dari penindasan
dan pengeksploitasian dari stereotip gender yang pada dasarnya membatasi
potensi laki – laki sebagaimana juga perempuan untuk mengekspresikan diri dan
mengembangkan pribadinya (Tan, 1995).
C.3. Sasaran Program Pemberdayaan
Perempuan
Secara umum sasaran
dari program pemberdayaan perempuan, pertama adalah meningkatnya kualitas sumber
daya perempuan di berbagai kegiatan sektor dan subsektor serta lembaga dan nonlembaga
yang mengutamakan peningkatan kemampuan dan profesionalisme atau keahlian kaum
perempuan. Kedua, mewujudkan kepekaan, kepedulian gender dari seluruh
masyarakat, penentu kebijakan, pengambil keputusan, perencana dan penegak hukum
serta pembaharuan produk hukum yang bermuatan nilai sosial budaya serta keadilan
yang berwawasan gender. Kemudian sasaran yang ketiga yaitu mengoptimalkan
koordinasi dan keterpaduan dalam pengelolaan pemberdayaan perempuan yang meliputi
aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan
pelaporan.
C.4. Kegiatan
Pemberdayaan Perempuan yang Telah Dilaksanakan
a. Pengembangan
Keterampilan Membuat Kue Oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Lancar
Lestari Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
Pada
hari selasa tanggal 26 Januari 2011 di adakan pelatihan keterampilan bagi
perempuan di PKBM Lancar Lestari . Kegiatan yang berlangsung dari jam 13.00 WIB
sampai dengan jam 17.00 WIB ini di hadiri oleh segenap pengurus PKBM Lancar Lestari
dan peninjau PNF-I UPT Disdikpora Kecamatan Kesugihan. Dalam kegiatan tersebut,
keterampilan yang dipilih untuk dipraktikan yaitu membuat kue bolu panggang.
Drs. Timbul Iswandi, pendamping teknis kegiatan ini mengatakan bahwa pelatihan
keterampilan ini adalah kegiatan yang diarahkan pada kemampuan keterampilan
fungsional yang nantinya akan sangat berarti bagi warga tersebut untuk
meningkatkan wawasan pengetahuan dan income pendapatan secara ekonomis. Dengan
diadakan pelatihan ini diharapkan akan memberikan respon positif dan dalam
pengembangannya ke depan bisa membentuk sebuah unit usaha boga.
D. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan diperlukan upaya yang terpat. Salah satunya melalui program
pemberdayaan masyarakat. Dalam melaksanakan program pemberdayaan semua pihak
harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif mensukseskan
program pemberdayaan tersebut, tanpa terkecuali perempuan. Perempuan sebagai
makhluk Tuhan yang memiliki banyak potensi harus berperan aktif dalam kegiatan
pemberdayaan. Sehingga muncul istiliah pemberdayaan perempuan sebagai jawaban
dari masalah subordinasi dan asimetris kedudukan perempuan dengan laki – laki.
Pemberdayaan
perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol
terhadap sumber daya, ekonomi, politik, sosial, budaya, agar perempuan dapat
mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan
berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah, sehingga mampu membangun
kemampuan dan konsep diri. Tujuan dari pemberdayaan perempuan adalah untuk
menantang ideologi patriarkhi yaitu dominasi laki – laki dan subordinasi perempuan,
merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan diskriminasi
gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga, kasta, kelas, agama, proses
dan pranata pendidikan). Kegiatan pemberdayaan perempuan ini telah banyak
dilakukan salah satunya adalah kegiatan pengembangan keterampilan membuat kue
oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Lancar Lestari Kecamatan
Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
E. Implikasi
Berdasarkan
uraian diatas maka penulis menyarankan agar program pemberdayaan perempuan ini berjalan
secara kontinyu dengan sasaran peserta yang lebih luas lagi, sehingga semua
perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut berpartisipasi dalam
program pemberdayaan ini. Kemudian agar setiap program pemberdayaan perempuan
dapat berjalan secara optimal, pemerintah harus mendukung penuh dengan
memberikan bantuan dana maupun hal – hal lain yang dibutuhkan dalam kegiatan
pemberdayaan perempuan.
Daftar Pustaka
Daulay, Harmona. 2006.
Pemberdayaan Perempuan: Studi Kasus Pedagang Jamu di Geding Johor Medan. Jurnal
Harmoni Sosial, Volume I Nomor I, September 2006.
Martono,
Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan
Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Rajawali
Press: Jakarta.
Muttalib, Jang A. 1993.
Menggunakan Kerangka Pemampuan Wanita, dalam Moeljarto Tjokrowinoto, dkk. Bahan
Pelatihan Jender dan Pembangunan. Kantor Menteri Negara UPW.
Novian, Budhy. 2010.
Sekilas Tenang Pemberdayaan Perempuan. Artikel Sanggar Kegiatan Belajar Kota
Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung.
Tan, Mely G. 1995.
Perempuan dan Pemberdayaan. Makalah dalam Kongres Ikatan Sosiologi Indonesia
(ISI). Ujung Pandang.
0 komentar:
Posting Komentar