BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Ilmu
merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih
mudah. Merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban
manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia
seperti memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah
kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan
kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan
lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Di
era kemajuan ilmu pengetahuan ini, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang
membutuhkan pendekatan, sifat, obyek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara
disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada gilirannya, cabang ilmu
semakin subur dengan segala variasinya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa
ilmu yang terspesialisasi itu semakin menambah sekat – sekat dengan disiplin
ilmu yang lain, sehingga muncul arogansi ilmu yang satu terhadap ilmu yang
lain. Tidak hanya sekedar sekat – sekat antardisiplin dan arogansi ilmu, tetapi
yang dikhawatirkan terjadi adalah terpisahnya ilmu dengan nilai luhur ilmu
yaitu untuk menyejahterakan umat manusia (Bakhtiar, 2006).
Dengan
demikian dikatakan bahwa di satu sisi ilmu berkembang dengan pesat. Ilmu dapat
membantu manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya.
Tetapi di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap
perkembangan ilmu itu karena tidak ada seorang atau lembaga yang memiliki
otoritas untuk menghambat implikasi negatif ilmu.
Perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi
manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk
yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang dengan mempelajari teknologi
seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber
energi bagi keselamatan manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga
berakibat sebaliknya, yaitu membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang
menimbulkan malapetakan. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang
pada dasarnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk
apa sebenarnya ilmu? Apakah aspek moral perlu menjadi pertimbangan dalam
penerapan ilmu? Pertanyaan – pertanyaan seperti itu lah yang mendasari penulis
untuk menyusun makalah ini dengan judul “Dimensi Aksiologi: Antara Ilmu dan
Moral”.
1.2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana hubungan antara penerapan ilmu pengetahuan
dengan aspek moral?
1.3. Tujuan
Penulisan Makalah
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara penerapan ilmu pengetahuan dengan aspek moral.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1. Konsep
Dasar Filsafat Ilmu
2.1.1.
Pengertian Filsafat Ilmu
Pengertian
– pengertian tentang filsafat ilmu telah banyak dijumpai dalam berbagai buku
maupun karangan ilmiah. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan integratif yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan
ilmu.
Filsafat
ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat
ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah
mengikuti perkembangan zaman dan keadaan. Pengetahuan lama menjadi pijakan untuk
mencari pengetahuan baru.
Untuk
memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian
filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam sejumlah literatur kajian
Filsafat Ilmu (dalam Lokisno, 2012) diantaranya:
a. Robert
Ackerman “philosophy of science in one
aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven
past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline
autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi
adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan
perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
b. Lewis
White Beck “Philosophy of science
questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to
determine the value and significance of scientific enterprise as a whole”.
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta
mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
Dari
paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat ilmu
itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. sikap
kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
b. sikap
sitematis berpangkal pada metode ilmiah
c. sikap
analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
d. sikap
konsisten dalam bangunan teori serta tindakan
ilmiah
2.1.2. Ruang
Lingkup Filsafat Ilmu
Berdasarkan
pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang
ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata
lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)
yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
a. Obyek
apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang
membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
b. Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang
benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
c. Untuk
apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional ? (Landasan aksiologis).
2.2. Aksiologi
Ilmu
Ilmu
merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih
mudah. Merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban
manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia
seperti memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah
kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan
kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan
lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Berbicara
tentang ilmu, bukan hanya berbicara tentang aspek ontologi (apa yang dikaji)
dan aspek epistemologi (bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan yang benar)
tetapi juga yang tidak kalah penting yaitu aspek aksiologi (nilai guna ilmu). Aksiologi
adalah nama lain dari filsafat nilai dan termasuk cabang dari etika. Aksiologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi
aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya
dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia
kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang
mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak
benar.
Untuk
lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, ada beberapa definisi yang
diungkapkan oleh beberapa ahli diantaranya:
1. Aksiologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu axios
yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai (Burhanuddin, 1997).
2. Menurut
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumatri, 2009).
3. Menurut
Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression,
yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan
sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosio-politik (Jalaluddin, 1997).
Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu
tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan
bahwa aksiologi disamakan dengan Value
and Valuation. Ada tiga bentuk Value
and Valuation yaitu:
1. Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam
kritik atau predikat pro dan kontra sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia
berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika.
Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai
instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai
inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai
intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor
atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
2. Nilai
sebuah kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya, nilai dia dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk
apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa
yang tidak dianggap baik atau bernilai.
3. Nilai
juga dikatakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan
dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara
aktif digunakan untuk menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi
(Edward, 1967 dalam Bakhtiar, 2006: 165).
Dari definisi-definisi
di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam
filsafat mengacu pada permasalah etika dan estetika.
Dalam aksiologi, ada
dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang
filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral.
Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika
merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi
pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ
dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral
ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan
adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak
menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah
pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika,
nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya
adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang
pencipta.
Dalam perkembangan
sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu,
hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan
moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan.
Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun
tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya
utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan
para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi
apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran
tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa
disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain
disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia
apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang
lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia
yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa
didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan
harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah
suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik
melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan
bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa
bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan
sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun
sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan
perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi
menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang
kita serap. Padahal sebenarnya tetap
merupakan perasaan.
2.3. Ilmu dan
Moral
2.3.1. Hubungan
Antara Ilmu dan Moral
Kaitan
ilmu dan moral telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain
Merton, Popper, Russel, Wilardjo, Slamet Iman Santoso, dan Jujun Suriasumantri
(Suriasumantri, 1996). Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal
tersebut adalah: apakah itu bebas dari sistem nilai? Atakah sebaliknya, apakah
itu itu terikat pada sistem nilai? Ternyata pertanyaan tersebut tidak
mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang
masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai
ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan
adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk
apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok
kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian,
maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral (Suriasumantri, 2010).
Hubungan
antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati – hati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. (1996)
mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Untuk
mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka
pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci
yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
b. Menafsirkan
hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah
perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan
sejarah kemanusiaan.
c. Secara
ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek
ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan
tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak
mencampuri masalah kehidupan.
d. Secara
epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan
proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan
menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan
langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.
e. Secara
aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia
dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya ilmiah ini
dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal
universal.
Ternyata
keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya
dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi
diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam
pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
2.3.2.
Problematika Etika Ilmu Pengetahuan
Penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalah hal ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu harrus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab kepada kepentingan umum dan generasi
mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya ilmu adalah untuk
mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan malah menghancurkannya.
Tanggung
jawab ilmu menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal – hal yang akan dan
telah diakibatkan oleh ilmu di masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi
masa depan berdasarkan keputusan – keputusan bebas manusia dalam kegiatannya.
Penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah suatu
aturan, baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab
agar selalu menjaga apa yang diwijudkan dalam perubahan tersebut menjadi
perubahan terbaik bagi perkembangan ilmu itu sendiri maupun bagi perkembangan
eksistensi manusia secara utuh (Zubair, 2002).
Sesuai
pendapat Van Melsen (dalam Surajiyo, 2007) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada
manusianya itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk
kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan teknologi di era ini
memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan
mana yang layak dan mana yang tidak layak serta yang buruk dan yang baik.
2.3.3. Ilmu:
Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Bebas
nilai yang dimaksud disini menurut Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa
bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiaatan ilmiah agar didasarkan
pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur
tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan
itu sendiri.
Tokoh
sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga
mengatakan bahwa ilmu – ilmu sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar
atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh
kepentingan – kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai – nilai itu harus
diimplementasikan ke dalam bagian – bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu
mengandung tujuan atau rasional. Lain halnya dengan Weber, Habermas sebagaimana
yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misbak Munir (2001) berpendirian bahwa
teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi
Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau obyek alam diperlukan
oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Fakta atau obyek itu
sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengalaman sehari
– hari, dalam Lebenswelt atau dunia
sebagaimana dihayati. Setiap ilmu mengambil dari Lebenswelt itu sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan
kepentingan praktis.
2.3.4. Sikap
Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Ilmu
bukanlah pengetahuan yang datang begitu saja sebagai barang yang sudah jadi dan
datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir
tentang suatu obyek yang khas dengan pendekatan yang khas pula, sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang ilmiah. Ilmiah dalam
arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Oleh karena itu, ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan
ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis,
rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi
seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun, juga menjadi masalah mendasar yang
dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu yang kokoh dan kuat, yakni masalah
kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu
telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah
ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan
sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab ilmuwan, masalah moral dan akhlak
amat diperlukan.
Sikap
ilmiah yang perlu dimiliki ilmuwan menurut Abbas Hamami M. (1996) sedikitnya
ada enam yaitu:
a. Tidak
ada rasa pamrih (disinterestedness)
artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang
obyektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan sendiri.
b. Bersikap
selektif, yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan
pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
c. Adanya
rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat – alat
indera serta budi.
d. Adanya
sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief)
dan dengan merasa pasti (conviction)
bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
e. Adanya
suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan sehingga selalu ada dorongan untuk riset dan
riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
f. Seorang
ilmiwan harus memiliki sikap etis yang berkehendak untuk mengembangkan ilmu
untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
BAB
3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
urain yang telah diungkapkan di atas dapat disimpilkan bahwa ilmu merupakan
sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan
dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Berbicara
tentang ilmu, bukan hanya berbicara tentang aspek ontologi (apa yang dikaji)
dan aspek epistemologi (bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan yang benar)
tetapi juga yang tidak kalah penting yaitu aspek aksiologi (nilai guna ilmu). Aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau
kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan
di jalan yang baik pula.
Dalam
kaitannya dengan moral, penerapan ilmu tidak bisa dipisahkan dengan aspek
moral. Hal itu dikarenakan pada dasarnya ilmu dikembangkan oleh manusia dan
diperuntukan untuk kemaslahatan umat manusia. Penggunaan ilmu secara bijak
menjadi suatu keharusan bagi umat manusia agar tidak mendatangkan malapetaka
yang akan mengancam kelangsungan hidupnya dan generasi selanjutnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan
manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh
manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan teknologi
di era ini memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni
kedewasaan mana yang layak dan mana yang tidak layak serta yang buruk dan yang
baik.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. 2006. Filsafat Ilmu. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Charris Zubair, Achmad, 1987. Kuliah Etika. Rajawali Pers: Jakarta.
Hamami M., Abbas. 1977. Filsafat: Suatu
Pengantar Logika Formal – Filsafat Pengetahuan. Yayasan Pembina Fakultas
Filsafat UGM: Yogyakarta.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Gaya Media Pratama:
Jakarta.
Lokisno. 2012. Pengantar Filsafat. Bahan Presentasi kuliah
filsafat ilmu di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel: Surabaya.
Mustansyir,
Rizal dan Misbak Munir. 2001. Filsafat
Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Reneka cipta: Jakarta.
Situmorang, Josep. Th. XXII No. 4. Ilmu Pengetahuan dan Nilai – Nilai.
Majalah Filsafat Driyarkara: Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S.. 1996. Ilmu
dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia
Keilmuan Dewasa ini. Gramedia: Jakarta.

Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. PT Bumi Aksara: Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar